Para pembaca JS yang bermain game Fate/Grand Order mungkin tidak asing kan dengan salah satu servant yang bernama Tomoe Gozen? Nah, apakah kalian tahu siapakah sebenarnya Tomoe Gozen? Tomoe Gozen adalah salah satu onna-bugeisha atau samurai wanita Jepang. Iya, samurai. Berbeda jauh kan dengan bayangan wanita Jepang selama ini kan? Biar lebih jelas tentang apakah itu onna-bugeisha, simak penjelasan berikut!
Apa Itu Onna Bugeisha?
Onna-bugeisha (女武芸者, "ahli bela diri wanita") adalah pahlawan wanita Jepang yang berasal dari keluarga bangsawan. Wanita-wanita ini merupakan bagian dari kelas bushi (samurai) di zaman feodal Jepang dan telah terlatih untuk menggunakan senjata untuk melindungi klan, keluarga dan kehormatan saat perang. Selain Tomoe Gozen, masih ada ikon samurai wanita Jepang lainnya, seperti Nakano Takeko, dan Hōjō Masako.
Onna-Bugeisha dari Masa ke Masa
Ternyata, onna-bugeisha sudah ada sejak tahun 200 AD, ketika Kaisar Jingū, naik takhta menggantikan suaminya, Kaisar Chuai yang meninggal. Ia memimpin invasi ke Silla (kini Korea). Meski banyak akademisi yang menolak akan keberadaan samurai wanita ini, fakta sejarah tidak dapat dipungkiri. Jingu tetaplah samurai wanita ditakuti dan berani mendobrak norma sosial pada zaman kejayaannya. Konon, Jingū tengah hamil saat turun ke medan perang, namun tetap membalut tubuhnya dengan pakaian laki-laki dan berperang. Ekspedisi yang dilakukannya sukses, dan ia kembali memerintah sebagai kaisar wanita hingga umurnya mencapai 100 tahun.
Mulai abad ke-5 dan ke-6, wanita di Jepang benar-benar memperlihatkan kekuatannya. Negara ini mulai dipimpin oleh kaisar-kaisar wanita kuat dan pemberani dan bukan hanya itu, antara tahun 1180-1185, ketika terjadi konflik antara klan Minamoto dan Taira, hadir pendekar wanita paling terkenal sepanjang sejarah Jepang, Tomoe Gozen. Heike Monogatari, kisah yang menceritakan tentang Perang Genpei, mendeskripsikan Tomoe sebagai seorang wanita cantik berambut hitam panjang namun merupakan seorang penunggang kuda paling ditakuti dan mampu menggunakan pedang dan panahnya dan mampu mengalahkan 1000 prajurit. Gozen juga dikenal dengan bakatnya dalam panahan, menunggang kuda, serta berperang dengan katana dan naginata.
Gozen juga dikenal sebagai salah satu dari sedikit pendekar wanita yang bertarung secara ofensif atau onna-musha, tidak seperti onna-bugeisha lain yang bertarung dengan cara defensif. Pada tahun 1184, ia memimpin 300 samurai untuk bertempur melawan 2,000 pendekar klan Taira, sementara pada Pertempuran Awazu, ia menghabisi beberapa samurai sebelum mengalahkan pemimpin klan Musashi dan mempersembahkan kepalanya ke atasannya, Jenderal Kiso Yoshinaka.
Samurai wanita terkenal lain di Perang Genpei adalah Hangaku Gozen. Jika Tomoe Gozen bertarung bersama Klan Minamoto, Hangaku berperang bersama Klan Taira. Sebenarnya, masih ada beberapa samurai wanita lain di zaman ini, sayangnya, mereka seperti hilang ditelan bumi.
Setelah Perang Heike berakhir, Keshogunan Kamakura (1185–1333) didirikan dibawah pimpinan Minamoto no Yoritomo. Setelah ia meninggal, sang istri, Hōjō Masako, berperan sebagai onna-bugeisha pertama yang aktif di bidang politik. Setelah menjadi biarawati Buddha, ia pun meneruskan tugasnya di bidang politik yang dilanjutkan oleh 2 putranya, Minamoto no Yoriie dan Minamoto no Sanetomo.
Berkat usaha Masako dalam bidang politik, hukum Jepang pada awal abad-13 pun memperbolehkan agar wanita diberi hak yang sama dengan laki-laki dalam bidang politik. Peran utama wanita masih menjadi pendukung bagi keluarga dan suami mereka, namun, kini mereka dapat memperoleh stastus lebih tinggi dalam rumah tangganya. Hukum ini juga memperbolehkan wanita untuk mengontrol keuangan, mengatur pembantu mereka, dan membesarkan anak mereka dalam lingkungan samurai yang baik. Wanita Jepang juga diharapkan dapat melindungi rumah mereka saat perang.
Setelah adanya pengaruh neo-Confucianism pada zaman Edo (1600–1868), status onna-bugeisha mulai menghilang. Fungsi onna-bugeisha berubah. Samurai tidak lagi peduli pada perang dan pertempuran. Para wanita dan anak perempuan dari kelas atas pun mulai kehilangan impian akan keseuksesan dan kekuatan. Rasa keberanian mereka berganti menjadi individu yang pasif, dan penurut.
Namun, pada tahun 1868, di tengah Pertempuran Aizu (bagian dari Perang Boshin), Nakano Takeko, aseorang anggota Klan Aizu, direkrut untuk menjadi pemimpin pasukan wanita Jōshitai (娘子隊 Tentara Wanita) yang berperang melawan 20.000 prajurit Tentara Kekaisaraan Jepang dari Ōgaki Domain. Takeko dan 20 anggota pasukannya yang sangat ahli menggunakan naginata bergabung dengan 3000 samurai Aizu lain dalam perang. Ia gugur, namun Hōkai-ji di Aizubange, Provinsi Fukushima memiliki sebuah monumen untuk mengenangnya.
Sayangnya, perjuangan para samurai wanita pemberani ini benar-benar terhapus pada abad ke-19. Orang-orang barat mulai menulis sejarah Jepang saat negeri itu ada dalam era Sengoku, membuat hampir seluruh orang di belahan dunia menganggap kalau semua samurai adalah pria. Perjuangan para onna-bugeisha pun hilang di tangan buku-buku sejarah buatan orang barat, dan wanita Jepang hanya digambarkan sebagai wanita yang submisif dan patuh, lengkap dengan kimono dan obi ketat mereka. Menyedihkan ya?
Sumber: