Dua wanita Jepang terlihat berjalan dengan kaki telanjang sambil membawa sebuah kargo besar di kepala mereka di daerah yang kini disebut Naha, ibu kota Prefektur Okinawa. Ya, itulah gambar yang terlihat dari sebuah foto yang dipercaya diambil pada tahun 1935. Menurut para ahli, penemuan foto tersebut dan beberapa foto sejenis lainnya, menggambarkan kehidupan sehari-hari di Okinawa sebelum perang terjadi.
Melansir Asahi Shinbun, pada saat itu, orang-orang Okinawa tengah mencoba beradaptasi setelah pemerintah Meiji (1868-1912) mengakhiri kekuasaan Kerajaan Ryukyu (1429-1879), membuatnya menjadi Prefektur Okinawa.
Nah, wanita yang berjalan di depan dalam foto tersebut membawa sebuah kuil Buddha kecil dan sebuah kursi, sementara wanita di belakangnya membawa sebuah kotak kostum. Di belakangnya, terlihat sebuah toko yang menjual furniture. Diduga, kedua wanita ini diminta untuk membawa barang-barang tersebut oleh toko itu. Kedua wanita itu juga terlihat mengenakan kimono, meski berbeda dengan kimono yang kita kenal selama ini.
Menurut Ichiko Yonamine, peneliti di Okinawa Prefectural Museum and Art Museum, keduanya mereprentasikan perpaduan antara gaya Jepang dan Ryukyu yang diadaptasi wanita setempat saat itu.
Di bawah perintah pusat Jepang sejak 1890-an, orang Okinawa diwajibkan untuk belajar bahasa Jepang standar, bukan dialek lokal, serta mengadopsi etika Jepang. Nah, mengenakan pakaian yang umumnya digunakan oleh wanita di kepulauan utama Jepang adalah salah satu cara wanita Okinawa mengadaptasinya.
“Mereka ada di bawah tekanan sosial untuk mengadaptasi gaya Jepang, namun mereka tak bisa langsung melakukannya sekaligus. Karena itu, para wanita menggabungkan gaya tradisional Ryukyu dan Jepang,” ujar Yonamine.
Dan pada tahun 1930-an, sangat umum bagi orang biasa untuk berjalan bertelenjang kaki di Okinawa, karena prefektur tersebut kekurangan material dan teknik untuk membuat sandal. Namun, berjalan tanpa alas kaki dilarang di Naha pada tahun 1941, setelah prefektur tersebut berusaha menarik perhatian turis. Pihak pemerintah setempat mengatakan bahwa pemandangan penduduk yang berjalan tanpa alas kaki dapat menghancurkan image Okinawa.
Foto kedua wanita di atas adalah satu dari 165 foto yang menggambarkan kehidupan penduduk Okinawa di masa pra-perang. Foto-foto ini ditemukan dalam pencarian foto kastil Shuri-jo sebelum Perang Dunia II. Pencarian tersebut dimulai setelah kastil tersebut terbakar pada Oktober 2019 silam.
Di foto lain, dua orang, seorang pria berotot dan seorang pria bertubuh besar terlihat tengah bertanding karate di sebuah lapangan di Osaka pada tahun 1933.
Dua pria yang merupakan warga Okinawa tersebut diidentifikasi sebagai Kanei Uechi (1911-1991), pelatih karate Uechi Ryu, gaya karate tradisional Oiknawa, dan Kaei Akamine (1908-1977), seorang pebisnis yang menjadi kepala asosiasi sumo Okinawa.
Karate Okinawa diduga berakar dari Kerajaan Ryukyu. Uechi dan Akamine berlatih di sebuah dojo di Wakayama yang dibuka oleh ayah Uechi, pendiri dan penemu karate Uechi Ryu.
Pada tahun 1930-an, memang banyak penduduk Oknawa yang pindah ke area Kansai sebagai pekerja migran setelah tempat asalnya mengalami resesi ekonomi. Sayangnya, mereka harus menghadapi diskriminasi saat mencari pekerjaan dan apartemen. Tak aneh bagi mereka jika menemukan sebuah tanda berbunyi, “Tidak menerima penduduk Ryukyu atau Korea.”
Hasilnya, banyak yang menutup diri dan tidak menyanyikan lagu Okinawa di muka umum hingga tahun 1970-an akibat takut mengalami diskriminasi, begitu menurut Kaoru Kanagusuku-Kinjo, seorang peneliti yang mengumpulkan dokumen bersejarah Okinawa di perpustakaan Kansai-Okinawa di Osaka. Karena itulah, foto kedua pria di atas membuatya terkejut.
“Kami percaya bahwa penduduk asli Okinawa menyembunyikan kultur mereka sebagai bentuk pertahanan menghadapi diskriminasi. Namun, dua pria ini mencoba menunjukkan kultur Okinawa mereka pada dunia,” ujar Kanagusuku-Kinjo.
Uechi kembali ke Okinawa untuk membuka dojo dan berhasil selamat dari Pertempuran Okinawa pada tahun 1945. Menurut data dari pemerintah prefektur Okinawa, ia berhasil membuka 300 dojo di dunia, termasuk di Amerika Serikat dan Prancis.
Sementara itu, Masaaki Hokama, peneliti dari Naha City Museum of History di Naha, mengatakan bahwa foto-foto tersebut menjadi petunjuk yang sangat berharga tentang penduduk pulau karena diambil dari sudut pandang orang-orang dari pulau-pulau utama Jepang.
“Dulu, kamera dan film tidak umum digunakan di Okinawa,” katanya.
“Keluarga terkadang mengambil foto peringatan keluarga mereka, tetapi foto yang menunjukkan kehidupan sehari-hari penduduk pulau dan pemandangan lokal jarang diambil,” tambahnya.
Hokama mencatat bahwa hanya ada sedikit foto yang diambil sebelum Perang Dunia II yang bisa bertahan karena sebagian besar hancur dalam kebakaran selama Pertempuran Okinawa.
“Foto-foto ini bisa bertahan karena dibawa ke pulau utama Jepang,” katanya.