10 November, merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia atas perjuangan Bung Tomo di Surabaya yang mengobarkan semangat kepahlawanan. Hingga hari ini, tanggal 10 November menjadi peringatan Hari Pahlawan nasional untuk mengenang jasa para pahlawan tanah air. Dalam berbagai catatan sejarah, setidaknya ada beberapa negara yang pernah menjajah Indonesia di masa lalu, diantaranya adalah Belanda dan Jepang.
Namun, di balik kisah kelam bangsa Indonesia pada masa lalu, ternyata ada catatan sejarah tentang beberapa orang Jepang yang justru membantu Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dilansir dari laman Historia.id, pada 15 Februari 1958, Presiden Soekarno menyerahkan sebuah teks kepada Shigetada Nishijima agar disimpan di biara Buddha Shei Shoji di Minatoku, Tokyo. Teks yang diserahkan Presiden Soekarno tersebut mengungkap kenangan sang proklamator kepada dua orang jepang yang membantu perjuangan Indonesia, Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro.
Di biara Buddha itu kemudian dibuat monumen Sukarno (Soekarno hi) bertuliskan: "Kepada sdr. Ichiki Tatsuo dan sdr. Yoshizumi Tomegoro. Kemerdekaan bukanlah milik suatu bangsa saja, tetapi milik semua manusia. Tokyo, 15 Februari 1958. Soekarno."
Ichiki Tatsuo, Gambaran Kekecewaan Seorang Jepang di Masa Lalu
Ichiki Tatsuo mengalami masa kecil yang suram, di saat kedua orang tuanya bercerai dan akhirnya dia ikut ibunya. Masa-masa Tatsuo saat tumbuh dewasa bersamaan dengan masa transisi di Jepang, di mana pada saat itu sedang mengalami pergeseran dari zaman Taisho ke Masa Showa. Pada masa transisi tersebut, para pemuda di Jepang banyak memiliki cita-cita yang serupa, termasuk Ichiki. Kebanyakan pemuda desa di Jepang bermimpi untuk mencari kehidupan baru di Amerika Selatan atau Samudra Pasifik bagian selatan, yaitu Asia Tenggara. Beruntung bagi Ichiki, kesempatan itu datang. Sepucuk surat dari teman sekampungnya, Tsuruoka Kazuo, yang sukses mendirikan toko kelontong –dikenal dengan sebutan toko Jepang– di kota Pagar Alam, dekat Palembang, Sumatra Selatan. Isinya: mengundang Ichiki untuk datang dan bekerja di studio foto Miyahata di Palembang.
Saat itu Ichiki berusia 21 tahun. Dia meninggalkan bangku sekolah menengah sebelum lulus dan magang di sebuah studio foto, dekat kampungnya. Pada 22 Januari 1928, Ichiki pun berangkat. "Dia bermimpi menjalankan studio foto terbesar di Samudra Pasifik bagian selatan," tulis Goto dalam “Life and Death of Abdul Rachman (1906-49): One Aspect of Japanese-Indonesian Relationships," Indonesia, Vol 22, 1976. Singkat cerita, selama di Indonesia, Ichiki memupuk pengetahuan bahasa Indonesia sampai dia menyusun kamus Indonesia-Jepang.
Ichiki tetap mengikuti perkembangan politik di Jepang. Untuk itu, dia sering pergi ke Klub Jepang di Bandung. Dia juga melahap koran dan majalah Jepang. Terkadang dia menerjemahkan artikel bertopik semangat Jepang Bushido lalu menjualnya koran-koran lokal. Machida Taisaku, pemimpin senior Klub Jepang di Bandung, merekomendasikan Ichiki ke koran Nichiran Shogyo Shinbun, yang dijalankan Kubo Tatsuji, advokat pendukung Asianisme. Pada Juli 1937, koran ini merger dengan Jawa Nippo dan berubah nama menjadi Toindo Nippo (Harian Hindia Timur) tapi tetap anti-Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda, yang menganggap Jepang sebagai ancaman, meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan Ichiki dan kawan-kawannya. Pada 1938, untuk mendiskusikan proyek Toindo Nippo lebih kongkret, Ichiki kembali ke Tokyo. Tapi sebelum berangkat ke Indonesia, dia menerima telegram dari Belanda di Batavia yang melarangnya masuk kembali ke Jawa karena kegiatan anti-Belandanya. Ichiki pun bekerja sebagai peneliti paruh waktu di Biro Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri dan di Staf Umum Angkatan Darat.
Pada 1940-an, Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda secara bertahap memperkuat embargo ekonominya kepada Jepang. “Hal ini bahkan mengakibatkan semakin pentingnya arti Indonesia bagi Jepang. Pada saat itu, pemimpin-pemimpin Jepang mulai membicarakan secara terang-terangan ‘pembebasan’ Indonesia,” tulisnya Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Pada masa ini, Ichiki berteman dekat dengan Joseph Hassan, pejuang kemerdekaan Indonesia yang secara diam-diam dikirim ke Jepang oleh teman Jepangnya, seperti Machida Taisaku and Sato Nobuhide. "Ichiki dan Hassan akan menghabiskan berjam-jam dengan antusias berbicara tentang hari esok rakyat Indonesia setelah mereka dibebaskan," tulis Kenichi. Setelah menggulingkan Belanda pada Maret 1942, Jepang disambut dengan suka cita sebagai Saudara Tua.
Namun, suasana itu tak berlangsung lama. Jepang segera melarang berbagai aktivitas politik. Ichiki pun kecewa. Pada sesi Imperial Diet (Majelis Perwakilan Tertinggi Jepang) awal 1943, Perdana Menteri Hideki Tojo menyebutkan akan memberikan kemerdekaan bagi Filipina dan Burma di akhir tahun 1943, tapi Indonesia tidak disebut. Sekali lagi, Ichiki frustasi dan lambat-laun membenci negerinya sendiri. Pada Oktober 1943, Jepang membentuk Pembela Tanah Air (Peta) –kelak menjadi inti dari angkatan bersenjata Indonesia. Ichiki bekerja sebagai petugas paruh waktu di Divisi Pendidikan Peta di Bogor.
Dia membangun sebuah rumah terpencil di perkebunan karet dan menyebut dirinya –karena kulitnya agak gelap– "gagak dari Bogor." Pekerjaannya menerjemahkan manual tentara Jepang seperti Rikugun Hohei Soten (Manual Infantri) dan menjadi editor majalah Heiho, Pradjoerit. Melalui karyanya, dia merasa masih bisa melayani masyarakat Indonesia. Ichiki juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi Asia Raya.
Pada 15 Agustus 1945, berita kekalahan Jepang sampai pada Ichiki. Jepang, yang melalui Perdana Menteri Kuniaki Koiso, pengganti Tojo, berjanji memberikan "kemerdekaan Indonesia di kemudian hari" pada 7 September 1944, mengingkari dan mematuhi perintah Sekutu, serta menyatakan tak ada hubungannya lagi dengan masalah kemerdekaan Indonesia. Ichiki merasa Jepang telah mengkhianati rakyat Indonesia dua kali: pada awal dan akhir pendudukan.
Di hari Jepang menyerah, Ichiki menyatakan berpisah dengan Jepang. Dia menentang tentara Sekutu dan pendaratan pasukan Belanda, serta bertekad untuk berbagi dengan rakyat Indonesia akan nasib ibu pertiwi barunya, Republik Indonesia, bukan sebagai seorang Jepang Tatsuo Ichiki, tapi sebagai pemuda Abdul Rachman. Nama Abdul Rachman diberikan oleh H. Agus Salim ketika menjadi penasihat Divisi Pendidikan Peta, sebagai bentuk penghargaan kepadanya yang memihak Republik. Pada masa perang kemerdekaan, Abdul Rachman memimpin Pasukan Gerilya Istimewa di Semeru, Jawa Timur, yang disegani Belanda. Pasukan yang dibentuk pada 1948 ini merupakan satuan khusus di bawah militer Indonesia yang beranggotakan sekira 28 orang tentara Jepang yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka disebut zanryu nihon hei atau prajurit yang tinggal di belakang.
Pada 9 Januari 1949, desa terpencil Dampit dekat Malang, Jawa Timur, yang merupakan salah satu medan pertempuran paling sengit, menjadi akhir riwayat sang samurai. Abdul Rachman berlari ke depan melawan arus peluru Belanda untuk mendorong pasukan Indonesia, yang mulai ragu melihat kekuatan Belanda, agar menyerang. Alhasil, beberapa peluru Belanda menembus dahinya.
Tomegoro Yoshizumi, Intel Dari Negeri Sakura
Ketika Yoshizumi berusia 21 tahun, dia menjadi satu dari sekian banyak spion militer Jepang yang dikirim ke Selatan (Hindia Belanda). Kala itu, Jepang mengirim banyak spionnya ke berbagai negeri untuk berbagai tujuan, yang tak melulu politik dan militer. “Sejak membuka diri, Jepang memaksimalkan kerja-kerja spionase untuk memakmurkan bangsanya,” tulis Wenri Wanhar, wartawan Historia, dalam bukunya, Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi. Para spion Jepang itu menyamar dengan menjalankan beragam profesi, dari pengusaha warung kelontong hingga rumah bordil. Yoshizumi menyamar sebagai pekerja di Toko San’yo, toko milik salah seorang familinya. Setelah itu, dia terjun berbisnis dan berhasil menjadi saudagar.
Dia membangun relasi dengan banyak orang, baik di Jawa maupun luar Jawa seperti di Sulawesi. Pada 1935, Yoshizumi melakoni peran sebagai wartawan di Nichiran Shogyo Shinbun. Selain memberitakan kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905, koran ini gencar mengkampanyekan jargon “Asia untuk Asia” dan “Jepang saudara tua”, sehingga menuai respons keras dari pemerintah Hindia Belanda. Melalui tulisannya di Tohindo Nippo, koran hasil fusi Nichiran Shogyo Shinbun dan Jawa Nippo, Yoshizumi menggalang persatuan orang-orang Jepang di Hindia Belanda.
Awal 1941, Yoshizumi, redaktur Tohindo Nippo, dideportasi Pemerintah Hindia Belanda karena aktivitas jurnalismenya. Di Jepang, dia menjalin koordinasi dengan Kaigun atau Angkatan Laut Jepang. Dia lalu dipekerjakan untuk mengamati dan ikut operasi di Selatan, termasuk Indonesia. Yoshizumi ditangkap pemerintah Hindia Belanda sehari setelah Jepang menyerbu Pearl Harbor di Hawaii, 8 Desember 1941. Dia menjalani penahanan yang berat di Australia. Namun, penahanan tersebut membuatnya berubah 180 derajat. Hal itu dikatakan sendiri oleh Nishijima, sahabat Yoshizumi. “Yoshizumi yang sebelumnya seorang sayap kanan nasionalis Jepang yang antikomunis menjadi seorang Marxis,” tulis Wenri.
Idealisme kiri itulah yang kemudian membuatnya bersimpati terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia dan membawanya menjadi satu dari beberapa tokoh kunci Jepang yang membantu mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Yoshizumi, ketika mengepalai bagian intelijen Kaigun Bukanfu (kantor penghubung AL Jepang), aktif membangun jaringan dan merancang gerakan bawah tanah. Pertemuan Yoshizumi –dan Nishijima– dengan Tan Malaka di rumah Ahmad Subardjo tak lama setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus membuatnya melangkah lebih besar dalam berjuang.
“Pendek kisah, dua orang Jepang itu minta dibaiat menjadi Indonesia,” tulis Wenri. Tan Malaka memberi nama Indonesia “Hakim” untuk Nishijima dan “Arif” untuk Yoshizumi. Yoshizumi melibatkan diri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mula-mula dia mencuri barang-barang di gudang Markas Besar Kaigun Bukanfu lalu menjualnya di pasar gelap. Uang hasil penjualan diberikan kepada Tan Malaka untuk dana perang gerilya. Yoshizumi juga menemani Tan Malaka ke Banten. Dari Banten, dia pergi ke Surabaya. Dia menjalin kontak dengan Affandi, pemimpin serikat buruh PAL, galangan kapal di daerah Ujung, Surabaya. Kepada Affandi, dia memberi masukan soal pendirian pabrik senjata di Mojopanggung, Blitar, dan Kediri. Tomegoro Yoshizumi gugur pada 10 Agustus 1948 di Blitar, Jawa Timur ketika bergerilya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kini, makamnya bisa dijumpai di Taman Makam Pahlawan, Blitar, Jawa Timur.