Berita Jepang | Japanesestation.com

Saat Perang Dunia II dulu, Jepang mungkin bisa dinobatkan sebagai negara terkejam. Kita juga sudah sering membacanya kan di dalam buku sejarah dulu? Nah, apakah kekejaman Jepang hanya berlaku bagi negara yang dijajahnya saja? Mungkin tidak. Tidak percaya? Simak saja kisah dari mantan tentara anak Jepang yang dikutip dari Mainichi berikut.

Saat Perang Dunia II dulu, pemerintah jepang mengumpulkan dan mengirimkan anak-anak dan remaja ke Manchuria sebagai bagian dari "korps relawan pemuda perintis Manchuria".

Di sana, mereka akan digunakan untuk mempertahankan perbatasan atas Uni Soviet dan harus siap mati. Dan Hiromi Togo (91), penduduk kota Tondabayashi di Prefektur Osaka adalah salah satu dari tentara anak tersebut.

"Negara mengirimkan kami untuk berpartisipasi, lalu membuang kami begitu saja,” ujarnya sambil mengenang teman-temannya yang harus tewas dalam keadaan merindukan kampung halaman mereka.

perang dunia ii tentara anak jepang japanesestation.com
Hiromi Togo (mainichi.jp)

Jepang memang mengirimkan berbagai korps “sukarelawan” ke Manchukuo, negara boneka yang dibuat oleh Tentara Kwantung Jepang pada 1932 untuk menyelesaikan masalah domestik Jepang seperti masalah populasi, meningkatkan produksi pangan dan untuk memperkuat perbatasan. Namun dari tahun 1938, pengiriman tentara dewasa semakin sulit karena adanya Perang Sino-Jepang. Karena itu, Jepang mulai memperkerjakan remaja berusia 15 hingga 19 tahun. Hasilnya, ada sekitar 86.000 anak laki-laki yang dikirim ke Manchuria sebagai anggota muda korps sukarela.

Togo sendiri merupakan putra ketiga dari sebuah keluarga pedagang makanan di  Osaka. Ia bergabung dalam korps atas dorongan wali kelasnya yang mengatakan bahwa ia akan hidup makmur dan slogan-slogan seperti, "Manshu (Manchuria) adalah kehidupan Jepang,” dan ia pun bergabung karena tergiur.

perang dunia ii tentara anak jepang japanesestation.com
Markas Tentara Kwantung di Manchukuo (wikipedia.org)

Ia pun dikirim ke pusat pelatihan di Uchihara, Prefektur Ibaraki di mana ia menerima ilmu militer dan pertanian dan dikirim ke Manchuria pada Maret 1944.

Dan pada 15 Agustus 1945, Togo mendengar bahwa Jepang menyerah pada sekutu. Saat itu, ia tengah berada di pusat pelatihan Harbin sebagai tentara sukarela. Mendengar berita kekalahan negaranya di usianya yang baru 16 tahun dan tengah berada di area asing membuatnya terpukul.

"Bagaimana aku meneruskan hidup?” pikirnya saat itu.

Tentara Kwantung pun telah mundur dan meninggalkan rakyat sipil dan korps sukarela yang berada di Manchuria. Tentara Soviet pun menyerbu, membuat pena dan jam tangan pemberian orang tua Tpgo hilang dicuri sebelum ia dikirim ke camp tahanan perang. Dalam perjalanan ke camp, ia bertemu dengan salah satu mantan anggota regunya yang kabur dari perbatasan. Saat mereka berbincang, Togo akhirnya mengetahui bahwa banyak rekannya yang tewas akibat pertempuran atau penyakit.

"Tidak aneh jika orang dari negara yang kalah tewas kapan saja,” ujarnya.

Ia pun kembali dikirim ke pusat pelatihan setelah dianggap “masih anak-anak” dan dikeluarkan dari daftar mereka yang dikirim ke camp Siberia. Saat itu, pusat pelatihan dipenuhi oleh penduduk Jepang yang kabur. Dan saat musim dingindatang dengan suhu di bawah -20 derajat Celcius, ia menyadari bahwa ia tak mampu makan di tempat tersebut dan mulai berpindah dari satu toko ke toko lain hingga akhirnya salah satu restoran menawarkan kamar sebagai upah kerja.

perang dunia ii tentara anak jepang japanesestation.com
Hiromi Togo beserta rekan-rekannya sesama relawan muda Jepang di Harbin (mainichi.jp)

Rekannya yang cacat dan melemah berakhir di bekas sekolah Jepang yang dialihfungsikan sebagai pusat pengungsian. Di sana, satu demi satu tewas akibat kelaparan dan wabah tifus. Bahkan, beberapa di antaranya tak mampu lagi memasukkan makanan ke mulut mereka dan mati kedinginan. Mayat-mayat mulai menumpuk saat halaman sekolah tak mampu lagi untuk menguburkan mereka.

Satu tahun setelah perang berakhir, Togo dipaksa untuk masuk ke Communist Party of China's Eighth Route Army, di mana ia ikut terlibat sebagai petugas media. Ia mengatakan bahwa ia tak dapat melupakan rasa ngeri saat membawa tubuh korban seiring dengan melintasnya peluru.