Saat Perang Korea dimulai pada tahun 1950, ia bekerja di pabrik perbaikan mobil di perbatasan yang kini menjadi Korea Utara dan 3 tahun setelahnya, status militernya dicabut. Ia akhirnya kembali ke Jepang pada 1955.
Sebagai anggota dari Eight Route Army, tentara Cina memberitahunya bahwa desa mereka telah dibakar habis serta orang-orang yang dibunuh para bekas Tentara Kekaisaran Jepang adalah bagian dari kebijakan "Three Alls" untuk membunuh semua, membakar semua dan menjarah semua. Ia juga mendengar bahwa tanah pertanian tempat dia tinggal dulu telah dijarah. Togo mengatakan dia merasa dadanya menegang saat mendengar, "Kami berperang sebagai musuh, tetapi orang Jepang juga menjadi korban imperialisme Jepang sendiri. Jadi aku tidak bisa menyalahkan siapa pun."
Setelah perang, Togo menggunakan keterampilan bahasa Mandarinnya untuk bekerja di sebuah perusahaan swasta sembari bekerja untuk meningkatkan hubungan Jepang-Cina. Kini, ia bekerja sebagai penasehat Asosiasi Persahabatan Jepang-Cina cabang Prefektur Osaka. Togo juga telah membagikan pengalaman perangnya kepada lebih dari 2.000 orang di berbagai acara, meski COVID-19 menghentikan aktivitasnya.
Togo mengatakan bahwa 24.000 anggota korps pemuda Jepang di Manchuria tak pernah bisa pulang.
"Saat itu, kami percaya pada propaganda negara yang membuat kami berpikir bahwa tidak ada cara yang lebih baik bagi kami selain pergi ke Manchuria. Tragedi Manchuria membuktikan bahwa negara dengan mudahnya membuat kami pindah sukarela ke sana untuk berpartisipasi dalam perang meski akhirnya kami dibuang begitu saja. Karena itu, perang tak boleh terulang lagi,” tutup Togo.