Pengadilan Jepang memutuskan bahwa “Pembunuh Twitter,” seorang pria pembunuh berantai dari Jepang untuk dijatuhi hukuman mati setelah membunuh 9 orang yang mengunggah cuitan terkait bunuh diri di sosial media.
Takahiro Shiraishi (30), nama pria tersebut, dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Distrik Tokyo cabang Tachikawa setelah terbukti membunuh, memutilasi, dan menyimpan tubuh korban-korbannya di apartemennya.
Meski sempat ada perdebatan, Hakim Ketua Naokuni Yano mengatakan bahwa Shiraishi sehat secara mental untuk mempertangungjawabkan perbuatannya.
"Kejahatan yang dilakukannya sangat jarang terjadi dalam sejarah Jepang. Namun, di tengah situasi di mana media sosial sangat mengakar di kehidupan, hal ini telah mengguncang hati orang-orang.” ujar sang hakim ketua dikutip dari Kyodo.
Mengenakan kacamata berbingkai hitam, sebuah masker putih, dan pakaian berwarna hijau-kuning yang disediakan oleh penjara dan telah dipakainya sejak sidang pertamanya, Shiraishi terlihat sangat tenang saat putusan dijatuhkan.
Dalam sidang, para jaksa meminta hukuman mati dijatuhkan pada Shiraishi yang memang telah mengakui kesalahannya. Namun, pihak kuasa hukum Shiraishi berdalih bahwa seharusnya Shiraishi mendapat hukuman lebih rendah karena para korban memberi “persetujuan untuk dibunuh” berdasarkan pesan-pesan yang mereka kirim pada Shiraishi.
Menanggapi pernyataan tersebut, jaksa penuntut mengungkapkan bahwa tak mungkin seorang korban setuju untuk dibunuh berdasarkan kesaksian Shiraishi, di mana mereka melawan saat dicekik. Namun, kuasa hukum Shiraishi mengatakan bahwa mereka melakukan itu karena “refleks.”
Namun, pengadilan menerima kredibilitas testimoni Shiraishi dan memutuskan bahwa perlawanan para korban tidak memberikan bukti kurangnya persetujuan. Pembela juga mengklaim bahwa Shiraishi kemungkinan tidak kompeten secara mantal atau berada dalam kondisi tidak memadai saat pembunuhan. Namun, jaksa penuntut menyimpulkan bahwa ia dapat dimintai pertanggungjawaban pidana setelah ia menjalani pemeriksaan bersama psikiater selama 5 bulan sebelum dakwaannya pada September 2018 silam.
Menurut putusan sidang, Shiraishi mencekik dan memutilasi para korbannya. Tak hanya itu, ia juga memperkosa para korban wanita.
Ia diyakini berjanji menolong para korban melalui Twitter dengan menggunakan sebuah handle yang bisa diterjemahkan sebagai “algojo,” dan mengundang para korban ke apartememnnya di Zama, Prefektur Kanagawa, setelah mereka menunjukkan keinginan bunuh diri.
"Pembunuhan tersebut merupakan tindakan egois yang bertujuan untuk mendapatkan uang dan kepuasan seksual. Memikat korban dengan mental lemah bisa disebut perbuatan licik dan tercela,” ujar Yano.
Shiraishi sendiri menyatakan dirinya tak akan mengajukan meski ia menerima hukuman mati, Namun, kuasa hukumnya mengatakan bahwa mereka akan mengajukan banding atas nama Shiraishi.
Kasus pembunuhan berantai ini pertama kali terungkap pada Oktober 2017 silam saat petugas kepolisian mengeledah apartemen Shiraishi dan menemukan beberapa pendingin berisi potongan tubuh para korban saat tengah melakukan pencarian terhdap seorang wanita asal Tokyo berusia 23 tahun yang menjadi korban. Kasus ini pun mengejutkan banyak orang di Jepang dan mendorong pemerintah pusat untuk membuat layanan jaringan sosial untuk membantu para anak muda yang membutuhkan bantuan.