Pada 30 Oktober 2017, polisi menemukan 9 mayat dengan tubuh yang telah dimutilasi di dalam freezer, di sebuah apartemen yang berlokasi di Zama, Jepang. Saat itu, polisi sedang menyelidiki hilangnya seorang wanita asal Tokyo berusia 23 tahun, Aiko Tamura, yang ternyata menjadi salah satu dari korban pembunuhan Zama ini. Awalnya, polisi mengira mereka sedang menyelidiki kasus pembunuhan tunggal, sampai akhirnya mereka menyadari bahwa mereka tengah berhadapan dengan seorang pembunuh berantai.
Takahiro Shiraishi, pembunuh berantai, pemilik apartemen, dan tersangka yang pada waktu itu berusia 27 tahun, menggunakan media Twitter untuk menjerat para korbannya. Shiraishi mencari wanita-wanita di Twitter yang memiliki tanda-tanda depresi dan keinginan untuk bunuh diri. Begitu ditemukan, ia akan langsung mengirimkan korbannya pesan yang bertuliskan “ayo mati bersama”.
Menurut penyelidikan, Shiraishi pernah bekerja sebagai perekrut di industri seks. Ia mengintai dan menjebak wanita-wanita yang ditemuinya di jalan untuk masuk sebagai pekerja seks. Hal inilah yang diduga menjadikan Shiraishi terampil dalam mendapatkan kepercayaan wanita, serta memanfaatkan media sosial.
Shiraishi membuat akun Twitter dengan nama pengguna “hangingpro”, dengan bio yang menggambarkan keahliannya tentang bunuh diri. Dalam profilnya juga ia menulis “saya ingin membantu orang yang sedang dalam kesakitan. DM saya kapanpun.”
Menurut Japan Times, salah satu tweet dari akun Shiraishi, yang diunggah pada tanggal 21 Oktober 2017, membicarakan tentang korban bullying yang memiliki keinginan untuk bunuh diri. “bullying ada dimana-mana, baik sekolah maupun tempat kerja,” tulisnya. “Pasti ada banyak orang di antara masyarakat yang menderita setelah mencoba bunuh diri, meskipun kasusnya tidak dilaporkan dalam berita. Saya ingin membantu orang-orang seperti itu.”
Yasushi Sugihara, seorang profesor psikologi klinis dari Universitas Kyoto, telah menganalisa DM antara Shiraishi dengan korbannya. Dikatakan bahwa setelah membaca posting-an korban, pembunuh berantai ini langsung menginstruksikan korban untuk bertukar pesan (DM). Ia mengatakan akan membantu tanpa terburu-buru, jika korban tersebut benar-benar serius untuk melakukan bunuh diri.
“Dia (Shiraishi) mempersempit jarak antara keduanya dengan mengungkapkan informasi pribadinya sendiri (kepada korban), teknik yang digunakan dalam konseling, sambil membantu meningkatkan minat korban pada kematian,” kata Sugihara.
Takahiro Shiraishi ditangkap di apartemennya di Zama, tepat setelah polisi menemukan 9 mayat, 8 wanita dan 1 pria, di kediamannya tersebut. Shiraishi membunuh, menguliti, dan memutilasi korban-korbannya tersebut sendiri. Polisi mengatakan bahwa mayat-mayat tersebut dimutilasi, dipotong-potong, dan direduksi menjadi 240 bagian, dan disimpan di dalam freezer juga peti es kecil. Selain itu, polisi juga menemukan 2 kepala wanita yang sudah dipenggal di dalam freezer yang terletak di luar apartemennya.
Polisi mengatakan bahwa modus si pembunuh berantai ini adalah perampokan dan pemerkosaan. Selain membunuh, Shiraishi juga ternyata melecehkan korban dan mengambil hartanya. Ia akhirnya didakwa karena membunuh 9 orang dan menyimpan mayat di tempat tinggalnya.
Setelah Shiraishi ditangkap, penduduk sekitar berdoa untuk para korban di dekat kompleks apartemen Zama. Akibat kejadian ini, pemerintah Jepang juga meningkatkan pengawasan terhadap media sosial terkait posting-an yang mengarah pada bunuh diri. Mereka juga menghimbau agar orang-orang yang merasa memiliki tekanan dan depresi untuk segera mencari bantuan profesional, dan jangan mudah percaya dengan orang-orang yang ditemui di internet.
Artikel dari berbagai sumber.