Tokio Ito (69) masih menantikan persidangannya. Hari yang ditunggunya tersebut adalah hari di mana tuntutannya terhadap pemerintah Jepang yang meminta ganti rugi sebesar 33 juta yen (sekitar 4,5 miliar rupiah) untuk mengganti kerugiannya atas 40 tahun hidupnya yang dihabiskan dalam sebuah institusi kejiwaan setelah didiagnosis dengan skizofrenia. Ya, ia telah kehilangan puluhan tahun dalam hidupnya akibat kebijakan kesehatan mental nasional Jepang.
Pria kelahiran Sendai ini mulai menunjukkan gejala skizofrenia di usianya yang ke-16 dan menjadi koki magang di sebuah restoran di Kawasaki, Prefektur Kanagawa. Ia sempat dilarikan ke dua rumah sakit di Tokyo sebelumnya; pada tahun 1973, ia mulai menerima perawatan di sebuah institusi kejiwaan di Prefektur Fukushima, Jepang.
Sementara dirawat, ia melakukan beberapa pekerjaan, seperti bekerja di peternakan ayam terdekat dan membantu menyajikan makanan kepada pasien rawat inap rumah sakit. Saat itu, ia berpikir, jika ia menunjukkan bahwa ia bisa bekerja dengan serius, dia mungkin akan diizinkan meninggalkan rumah sakit. Namun, harapannya pupus. Ia terus tinggal di rumah sakit.
"Saya berpikir untuk mati berkali-kali," kata Ito.
"Saya ingin menikah, punya anak. Tapi saya kehilangan lebih dari separuh hidup saya (di rumah sakit)," tambahnya.
Peristiwa yang akhirnya membuatnya lepas dari institusi kejiwaan Prefektur Fukushima adalah Gempa Besar Tohoku pada Maret 2011. Semua pasien dievakuasi dan Ito dipindahkan ke sebuah rumah sakit di Prefektur Ibaraki. Dokter yang merawatnya pun menanyakan apakah ia ingin dipindahkan ke sebuah rumah kelompok. Ito pun menerimanya dan akhirnya meraih kebebasan yang dinantikannya selama bertahun-tahun. Setelah tinggal dalam rumah tersebut selama 2 tahun, akhirnya ia pun pindah dan tinggal di Ota, Prefektur Gunma sekitar 8 tahun lalu dan tinggal sendiri sejak saat itu.
Selama Ito meminum obatnya, ia tidak memiliki masalah dalam kehidupannya. Kini, ia tinggal di sebuah apartemen 1 kamar dan memasak serta membersihkan kamarnya seorang diri. Ia juga senang menggambar dan pergi ke sento, menikmati kebebasannya.
Saat ditanya apa alasannya melayangkan gugatan terhdap pemerintah Jepang, ia pun menjawab, "Saat saya di rumah sakit, ada beberapa orang yang juga terperangkap selama 20 atau 30 tahun dan nampaknya sudah bisa dikeluarkan. Saya ingin mereka juga bisa kembali ke masyarakat.”
Namun, Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan menolak mengomentari gugatan tersebut dengan alasan kementerian belum menerima pengaduan tersebut.
Sementara itu, menurut tim kuasa hukum Ito, banyak negara lain mulai beralih dari kurungan wajib bagi pasien psikiatri sekitar tahun 1955, setelah mengakui praktik tersebut sebagai pelanggaran HAM dan berfokus pada perawatan lokal dan hidup dalam komunitas. Pada tahun 1968, penasihat WHO untuk Jepang menyatakan bahwa banyak pasien dalam kurungan jangka panjang jatuh ke dalam keputusasaan, dan merekomendasikan untuk pindah ke pendekatan perawatan lokal meski rekomendasi itu tidak ditindaklanjuti.
Angka seseorang tinggal di rumah sakit jiwa di Jepang memang cukup tinggi. Statistik Kementerian Kesehatan menunjukkan lama rata-rata seseorang tinggal di rumah sakit jiwa adalah 265,8 hari di 2019. Pada 1989, jumlah tersebut adalah 500 hari dan semakin lama semakin berkurang. Namun, statistik Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan bahwa rata-rata seseorang tinggal di rumah sakit jiwa jauh lebih sedikit, dengan rata-rata di Korea Selatan sebanyak 176,4 hari, 35,2 hari di Inggris, 23 hari di Perancis, dan 13,6 hari di Italia.
Sebenarnya, pemerintah Jepang telah mencoba mengurangi jumlah pasien jangka panjang di rumah sakit jiwa dan mengalihkan perawatan ke tingkat lokal, tapi hasilnya kurang memuaskan.
Rencana kebijakan disabilitas dan kesejahteraan Jepang untuk tahun fiskal 2018-2020 bertujuan untuk mengurangi jumlah orang yang ditahan selama satu tahun atau lebih sebanyak 39.000 dari perkiraan 185.000 pasien pada akhir tahun fiskal 2014. Namun, ada sekitar 166.000 pasien pada tahun 2019. Dengan kata lain, jumlah pasien jangka panjang turun sekitar 19.000 dari 2014 hingga 2019.
Jadi mengapa perawatan lokal tidak berkembang di Jepang?
Profesor Atsuko Otsuka dari Fakultas Kehidupan Modern Universitas Teikyo Heisei mengatakan bahwa jumlah dana untuk perawatan medis reguler yang diarahkan ke perawatan psikiatri cukup kecil.
Bahkan di antara pasien psikiatri jangka panjang di bangsal perawatan kronis dengan kondisi yang relatif tidak terlalu parah, banyak yang masih membutuhkan dukungan untuk kehidupan sehari-hari. Dan otoritas lokal tidak memiliki staf untuk membantu pasien ini dalam praktik di luar institusi," ujarnya pada Mainichi Shimbun.
"Jika mereka meninggalkan rumah sakit, pasien ini akan membutuhkan perawatan psikiatri lokal, seperti asisten rumah atau kunjungan ke rumah oleh perawat. Ada juga otoritas lokal yang tidak memiliki infrastruktur pendukung untuk pasien untuk tinggal di masyarakat. Intinya, ada disparitas regional yang sangat besar, " tambahnya.
Selain itu, seorang petugas kesehatan mental dan kesejahteraan di rumah sakit Tokyo mengatakan bahwa terkadang ada keluarga yang tak ingin pasien dibebaskan.
Tampaknya, mereka tidak dapat membayangkan pasien tinggal di masyarakat. Jika anggota keluarga memahami bahwa rumah sakit dapat membantu orang yang mereka cintai, dan bahwa ada tempat di komunitas untuk mereka tuju, mungkin mereka akan lebih tenang, " ujarnya.