Berita Jepang | Japanesestation.com

Setelah beberapa sekolah di Jepang memperbolehkan penggunaan seragam fleksibel terlepas gender pada 2018 silam, kini jumlah SMA di Jepang yang menerapkan aturan “seragam genderless” pun semakin banyak. Hal ini dilakukan sebagai respon atas permintaan Menteri Pendidikan pada 5 tahun lalu terkait kebutuhan siswa transgender dan minoritas seksual (anggota LGBT). Dan untuk mendapatkan dukungan lebih luas, banyak sekolah yang mengajukan perubahan tersebut dengan alasan menguntungkan untuk meningkatkan fleksbilitas, kenyamanan, serta kepraktisan siswa.

Survei yang dilakukan Kyodo News terhadap dewan pendidikan pun menemukan lebih dari 600 sekolah negeri di 19 dari 47 prefektur di Jepang telah melonggarkan aturan berseragam, seperti memperbolehkan para siswi untuk mengenakan celana panjang.

Beberapa sekolah di 28 prefektur lainnya juga mengikuti aturan tersebut, meski dewan pendidikan belum menyediakan datanya. Meskipun begitu, diperkirakan pilihan seragam genderless ini akan meluas ke semua SMA negeri di Jepang mulai musim semi mendatang.

Sebelum adanya aturan ini, seragam “standar” di sekolah-sekolah dipandang sebagai penyebab turunnya mental dari para siswa transgender, serta beberapa siswa dan siswi lesbian, gay, dan biseksual.

Pada Agustus lalu, seorang siwa SMA di Distrik Edogawa yang terlahir sebagai perempuan namun menganggap dirinya sebagai laki-laki, membuat sebuah permintaan pada Walikota Takeshi Saito untuk menghentikan peningkatan siswa yang tersakiti akibat seragam sekolah dan meminta agar semua sekolah di distrik tersebut menawarkan pilihan seragam tanpa menandang gender.

"Saya sempat harus menahan emosi dan berpikir untuk mati sebelum memasuki usia dewasa,” ujar siswa tersebut yang kini memilih SMA yang memperbolehkan siswanya untuk mengenakan seragam genderless setelah dipaksa untuk mengenakan rok saat SMP.

Saito pun mengatakan ia akan mempertimbangkan untuk membuat seragam sekolah genderless.

"Dengan meningkatkan pilihan, dapat menyelamatkan hidup para siswa yang membutuhkannya,” ujar Ryosuke Nanasaki (33), representatif dari grup LGBT Community Edogawa dan siswa yang mendukung gerakan tersebut.

seragam sekolah jepang genderless japanesestation.com
Ryosuke Nanasaki (kedua dari kanan, di barisan depan), meminta Walikota Takeshi Saito (kanan, belakang) dari Distrik Edogawa untuk memberikan siswa pilihan seragam di semua sekolah di distrik tersebut pada Agustus 2020 lalu (kyodonews.net)

Langkah paling umum adalah mengizinkan para siswi untuk mengenakan celana panjang dan tidak menyebut suatu seragam sebagai seragam laki-laki dan seragam perempuan, bahkan beberapa sekolah juga mengizinkan para siswa laki-laki untuk mengenakan rok.

Sementara itu, seorang staf dari sebuah SMA di Kyushu di mana para siswa diperbolehkan memilih seragamnya sendiri pun mengungkapkan bahwa peraturan tersebut dapat menjadi “senjata makan tuan” jika hanya dibuat untuk mendukung minoritas seksual. Menurutnya, jika alasan itu tak diperluas, para siswa mungkin akan menahan diri untuk mengenakan seragam yang menurutnya paling nyaman karena takut akan “mencolok.”

"Sangat penting agar para siswa dapat memilih seragam mereka terlepas alasannya, termasuk dari segi fungsi,” ujarnya.

Makoto Matsumoto (17), seorang siswi di SMA Fujieda Nishi Prefektur Shizuoka misalnya. Ia menolak untuk mengenakan rok karena celana panjang lebih nyaman.

"Jika saya mengenakan celana panjang, saya tak perlu khawatir kaki saya kedinginan, Saya juga tak perlu repot memikirkan rok saya tersingkap saat mengendarai sepeda. Saya tak akan mengenakan rok lagi,” ujar Matsumoto.

Fujieda Nishi memang memperkenalkan celana panjang bagi para siswi mulai 2019 lalu dan mulai mengizinkan para siswa untuk mengenakan celana 3/4 di tahun ini.

seragam sekolah jepang genderless japanesestation.com
Para siswa Shizuoka Prefectural Fujieda Nishi High School memamerkan seragam sekolah baru mereka, celana 3/4 dan celana panjang bagi para siswi pada November 2020 di Fujieda, Prefektur Shizuoka. (kyodonews.net)

"Celananya nyaman dipakai saat musim panas dan jadi lebih mudah bergerak,” ujar Daiki Tsuneki (16) yang baru saja membeli celana tersebut.

Survei yang dilakukan Kyodo pada Oktober hingga November ini menemukan bahwa ada 639 sekolah di 19 prefektur yang mengizinkan para siswa SMA untuk mengenakan seragam sekolah genderless dengan angka tertinggi ada di Hokkaido, Tokyo, dan Chiba dengan 97, 93 dan 73 sekolah.

Sementara itu, Dewan Pendidikan Kyoto juga melaporkan bahwa hampir semua SMA di prefetur tersebut mengizinkan anak perempuan untuk mengenakan celana panjang, sementara Dewan Pendidikan Wakayama mengatakan hampir setengah dari sekolah di prefektur tersebut menawarkan hal yang sama.

Sebelumnya, pada tahun 2015 silam dilaporkan bahwa Menteri Pendidikan menyerukan pertimbangan bagi anak-anak minoritas seksual, membuat meningkatnya SMA yang menawarkan opsi terkait seragam sekolah.

Menurut Hiroko Onitsuka, seorang konselor siswa di Fujieda Nishi, pihak sekolah telah mempertimbangkan perombakan besar-besaran pada seragam mulai tahun 2018. Meskipun celana panjang wanita langsung disetujui, tidak semulus itu bagi celana panjang 3/4 pria.

Padahal, para siswa di sekolah tersebut telah terbiasa untuk menggulung celana mereka untuk melawan panasnya musim panas. Karena itu, seragam yang lebih “dingin” pun dibuat, meski ada kekhawatiran terkait impresi orang-orang.

Setelah meminta produsen pakaian untuk membuat prototipe dan mengevaluasi penampilan dan kenyamanan seragam, sekolah tersebut merekrut beberapa siswanya. Namun, karena memerlukan biaya tambahan, sejauh ini hanya segelintir anak laki-laki dan perempuan yang memilih untuk membeli seragam baru, meski sekolah berharap kebijakan seragam genderless itu akan menjadi salah satu daya tarik utama mereka ke depannya.

“Untuk membuat siswa setia mengenakan seragam sekolah, penting bagi mereka untuk mengenakan seragam yang membuat mereka nyaman tanpa dipaksa,” ujar Onitsuka.