Berita Jepang | Japanesestation.com

Perjuangan para minoritas seksual dan LGBTQ di Jepang dalam memperjuangkan hak-hak mereka rupanya tak hanya ada di Jepang modern ini lho, saat Jepang sudah mulai memperhatikan hak-hak para komunitas LGBTQ dengan seragam genderless, pengadilan yang mengakui pernikahan sesama jenis dan diakuinya keluarga LGBTQ di Adachi dan lain-lain. Ya, ternyata perjuangan ini telah ada sejak zaman dulu, bahkan, Jepang telah memiliki ikon LGBTQ sejak zaman pra-perang. Nah, siapa saja mereka?

Pra-perang

Pertama, ke pra-perang dulu nih. Jadi, sebenarnya LGBTQ di Jepang sendiri telah ada sejak zaman Sengoku dengan adanya “Nanshoku” yang gampangnya sih, diterjemahkan dengan “boys love.” Konon, samurai terkenal Oda Nobunaga dan  pengikutnya, Mori Ranmaru, juga terlibat dalam hubungan ini. Tapi kali ini, JS tak akan menyinggung hal ini, melainkan perjuangan parahttps://japanesestation.com/culture/tradition/apakah-boys-love-dapat-mengubah-pandangan-orang-jepang-terhadap-lgbtq ikon LGBTQ. Nah, untuk pra-perang, ini dia!

Nobuko Yoshiya

Salah satu figur queer paling terkenal di era pra-perang adalah novelis Nobuko Yoshiya (1896-1973). Sebagai salah satu penulis dalam periode Taisho dan Sowa, Yoshiya kerap menulis cerita dalam genre romansa dalam bentuk fiksi bagi gadis muda (shojo) dan literatur lesbian Jepang. Dalam kehidupan pribadinya, Yoshiya dikenal hobi mengadopsi gaya fashion androgini dan menikmati hiduo independennya di Tokyo, di masa di mana jika seorang wanita single memiliki mobil adalah hal yang tak umum.

Yoshiya secara terbuka mengakui hubungannya dengan pasangannya, Chiyo Monma, selama lebih dari 50 tahun. Namun, Yoshiya harus mengadopsi Monma secara resmi sebagai “anak” agar bisa terijat secara hukum dan dapat membuat keputusan medis bersama. Hingga kini, pasangan queer di Jepang masih harus “mengadopsi” pasangan agar bisa hidup bersama secara legal. Kendati demikian, keluarga  Yoshiya masih membantah tentang identitas LGBTQ Yoshiya hingga kini.

Showa, setelah perang

Setelah membahas ikon LGBTQ pra-perang, mari kita masuk ke Era Showa, tepatnya setelah perang!

Yukio Mishima

Salah satu figure LGBTQ paling kontroversial adalah penulis Kimitake Hiraoka, yang memiliki nama pena Yukio Mishima (1925-1970). Sebagai seorang jenius yang sangat terdampak efek perang, Mishima mengalami rasa inferior sepanjang hidupnya dan harus bertahan hidup dengan para nasionalis dan pergerakan pro-kaisar. Gaya sastra Mishima selalu berkisar di romantisasi tradisi dan kultur Jepang dan kerap mendeskripsikan pria hyper-masculine dan bertubuh indah sebagai pria ideal Jepang.

Mishima sangat terkenal sebagai seorang queer, meski hal ini tetap kontroversial karena keluarganya membantah rumor tersebut setelah ia meninggal.

Selain tulisan homoerotic-nya, Mishima dilaporkan kerap mengunjungi gay bar dan berhubungan romantic dengan penulis  Jiro Fukushima. HIngga kini, karyanya juga tetap dikenal orang-orang.

Ken Togo

Berbanding terbalik dengan Mishima, ada “okama legendaris” (kata slang Jepang untuk mendeskripsikan “waria”) Takeshi Togo, alias Ken Togo (1932-2012), orang yang mengubah pandangan Jepang terhadap para queer.

Awalnya, Togo sangat tertutup, menikah dengan pasangannya, dan bekerja di bank. Namun, Togo terjun mendukung hak LGBTQ pada 1963 dan melakukan kampanye politik (yang tidak sukses) pada tahun 1970-an. Di sisi lain, ia juga dikenal sebagai seorang pemilik bar, editor majalah gay, penyanyi, aktor, dan pornographer.

Togo adalah seorang golongan sayap kiri radikal yang memiliki ideologi yang nampaknya akan sejalan dengan para muda-mudi queer “progresif,” namun dapat membuat mereka yang mendukung hak komunitas LGBTQ yang “sopan” mengerenyitkan keningnya.

Dan sebagai orang yang menyebut dirinya sendiri sebagai okama, Togo dikenal sebagai aktivis garis keras dalam masalah minoritas seksual, mulai dari hak LGBTQ hingga pekerja seks komersial. Ia juga sering menghina kaisar dengan membawa-bawa partai sayap kiri.  

Akihiro Miwa

LGBTQ ikon satu ini adalah sahabat Yukio Mishima. Ya ia adalah Akihiro Maruyama yang memiliki nama panggung Akihiro Miwa, seorang penyanyi, aktor, penulis, drag queen dengan 97 tahun perjalanan karir dan telah menerbitkan lebih dari 20 buku. Sebagai seorang penyintas bom atom Nagasaki, Miwa pindah ke Tokyo di usia remaja unrtuk berperan dalam sebuah cabaret di Ginza. Karena wajah dan vokalnya yang menawan, popularitasnya pun meningkat pesat. Bahkan, ia juga sempat menjadi seiyuu dalam film-film Ghibli!

Dan seperti Togo, Miwa mengumumkan seksualitasnya sebagai LGBTQ di saat hanya ada beberapa orang yang berani melakukannya. Nah, selain dikenal karena karirnya dalam tulis-menulis dan musik, Miwa juga dikenal karena kritiknya pada pemerintah dan sudut pandangnya pada anti-perang. \

Maki Carrousel

Maki Hirahara yang juga dikenal dengan nama Maki Carrousel adalah seroang penyanyi, oenulis, dan aktor yang menjadi salah satu wanita transgender pertama Jepang yang membuka dirinya pada publik dan dikenal sebagai penerima perubahan gender pertama, saat ia melakukan operasi plastic di Sapporo di umurnya yang ke-19. Perjalanan Carrousel melalui operasi dan komplikasi yang dideritanya berjalan selama lebih dari satu decade sambil tetap meneruskan karirnya dalam cabaret. Dan dalam Nichigeki Revue, Carrousel adalah salah satu performer paling disukai.

Carrousel terus memperjuangkan hak para transgender setelah pada 2001 silam ia ditangkap polisi dan dimasukkan ke dalam sebuah penjara pria selama 41 hari. Hal ini memicu adanya perjalanan hukum Panjang yang berakhir di tahun 2004 saat Pengadilan Keluarga Tokyo memperkenankan Carrousel untuk menjadii transgender pertama yang mengubah jenis kelaminnya secara legal dalam daftar keluarga. Sayangnya, transisi legal masih sulit dijangkau para transgender karena mereka tak lolos dari ketatnya peraturan pengadilan.

Di umurnya yang ke 78 kini, Carrousel masih terus tampil di atas panggung dan menikmati perannya sebagai femme fatale di tayangan-tayangan televisi.

Nah, itulah ikon LGBTQ Jepang dalam sejarah!