Berita Jepang | Japanesestation.com

Orang tua di Jepang, terutama mereka yang merupakan orang tua tunggal yang bekerja harus berjuang keras mencari fasilitas penitipan anak di tengah krisis virus corona.  

Para orang tua tunggal (umumnya ibu tunggal) harus mampu menyeimbangkan pekerjaan mereka yang berubah drastis dengan soal pengurusan anak setelah anaknya lahir. Memang, ada praktik teleworking, namun tak semua perusahaan bia menerapkannya kan? Ada juga yang harus repot sampai pergi untuk bekerja di luar rumah meski bisa work from home karena wfh malah mempersulit masuk ke penitipan anak.

Apalagi, fasilitas penitipan anak itu tak murah kan?

“Biaya untuk menitipkan anak di tempat penitipan melebihi pendapatan saya. Kini saya sangat bingung,” ujar Asuna Morita, wanita berusia 23 tahun yang tinggal di Kota Settsu di Prefektur Osaka dan bekerja di salon kecantikan.

Setelah melahirkan, Morita kembali bekerja selama satu kali dalam seminggu pada Juni lalu dan menitipkan anaknya di sebuah tempat penitipan anak yang menjadi partner salon tempatnya bekerja. Sumber pendapatannya adalah komisi, dan meski ia meningkatkan jam kerjanya hingga 4 atau 5 hari dalam seminggu mulai November lalu, semuanya berubah saat “gelombang tiga” virus corona dumulai dan membuat tokonya merugi.

penitipan anak jepang japanesestation.com
Penitipan anak Aeru, di mana orang tua yang kesulitan mendapatkan empat di fasilitas penitipan anak menitipkan anaknya. (Mainichi/Ryoichi Mochizuki)

Morita pun mendaftarkan anaknya ke sebuah pusat penitipan anak saat ia meningkatkan jam kerjanya. Namun pada Januari lalu, ia meneirma kabar bahwa tempat penitipan tersebut tak mampu menampung anaknya. Ia sangat kaget dan bingung sampai-sampai menyakiti diri sendiri dan bertanya-tanya emngapa ia harus memiliki anak tersebut. Belum lagi fasilitas penitipan anak yang memiliki aplikasi sekunder berjarak 30 menit dengan sepeda dari rumahya, memperpendek jam kerja.

Managernya pun “memecatnya” setelah mereka berbincang. Meski Morita menunjukkan keinginannya untuk tetap bekerja selama satu minggu sekali, managernya “memecatnya dengan halus” dengan mengucapkan bahwa hal tersebut tak efektif dan memintanya agar kembali jika sudah siap.

Untungnya, Morita akan bekerja secara full time di sebuah restoran pada April mendatang. Ia juga telah mendapatkan posisi untuk anaknya di sebuah penitipan anak. Namun, Morita tetap berharap agar pemerintah bisa melakukan seseuatu untuk meningkatkan jumlah spot di fasilitas penitipan anak.

Sementara itu, Mizuki Hasegawa (27), seorang penulis lepas yang tinggal di Kota Amagasaki di Prefektur Hyogo terpaksa memilih untuk bekerja dari luar rumah meski memiliki opsi work from home agar empat anaknya dapat dititipkan di tempat penitipan anak.  

Pada musim panas 2020 lalu, Hasegawa terkejut dengan kriteria kota tempat tinggalnya saat ia melakukan penelitian untuk menempatkan putranya yang lahir pada bulan Mei, di fasilitas penitipan anak resmi di Amagasaki yang sama dengan ketiga anaknya yang lain. Di bawah sistem Pemerintah Kota Amagasaki, poin dasar yang diberikan kepada karyawan penuh waktu yang bekerja di luar rumah adalah 100 poin, sedangkan yang diberikan kepada orang tua yang bekerja di rumah adalah 80 poin dan tak ada faktor lain yang mempengaruhinya.

penitipan anak jepang japanesestation.com
Penitipan anak Aeru, di mana orang tua yang kesulitan mendapatkan empat di fasilitas penitipan anak menitipkan anaknya. (Mainichi/Ryoichi Mochizuki)

Karena Hasegawa adalah seorang pegawai kantoran hingga anak ketiganya dapat dititipkan di tempat penitipan anak, ia tak menyadari ada perbedaan poi berdasarkan lokasi tempat kerja. Awalnya, ia berpikir untuk menitipkan empat anaknya di fasilitas penitipan anak sembari menulis artikel dan materi kehumasan untuk beberapa perusahaan di rumahnya dan pergi ke luar rumah untuk rapat dan wawancara. Namun, kenyataan berkata lain.

Ia pun bertukar kontak dengan sebuah coworking space di Osaka tak lama setelah ia mengetahui adanya sistem poin tersebut dan membuatnya “bekerja dari luar rumah.” Meski ia kini dapat memastikan agar anak-anaknya dapat dititipkan di tempat penitipan yang sama, ia terpaksa harus selalu bepergian dan tetap waspada agar tak tertular COVID-19.

“Di bawah sistem kota, bekerja dari rumah dipandang ‘mudah’ dan membuat mengurus anak lebih gampang. Padahal, sangat sulit untuk melakukan rapat online dan melakukan tugas lain jika ada anak-anak di dekat kita. Padahal, bukan berarti konten pekerjaan akan berbeda meski tempat kerjanya berbeda,” ujar Hasegawa.