Edo (sekarang Tokyo) memiliki golongan masyarakat yang dibedakan dari bagaimana mereka berkontribusi untuk militer Jepang. Profesi secara tradisional dipegang oleh laki-laki, seperti pengrajin, pedagang, pekerja konstruksi, tukang kayu, penjahit, surveyor, juru gambar, pemilik toko, juru tulis, pembuat tatami, sarjana, dan legislator. Sehingga penduduk kota Tokyo pada zaman dahulu kebanyakan adalah pria. Area pemukiman pada saat itu dipisahkan berdasarkan masing-masing kasta yang terdiri dari empat kelas.
Suatu budaya urban berkembang serta menekankan apresiasi terhadap alam dan seni budaya. Tepi Sungai Sumida, dengan jembatannya yang besar, menyediakan tempat untuk kegiatan luar ruangan: jalan-jalan setiap hari, pemandangan musim semi sakura, kembang api di malam musim panas, melihat bulan di musim gugur dan salju di musim dingin.
Mengikuti budaya Cina, wanita dan pria dari semua kelas terlibat dalam seni musik tradisional, lukisan, kaligrafi, dan permainan keterampilan. Dengan perkembangan ekonomi mereka yang cepat, penduduk kota Edo juga menjadi pelindung seni, menciptakan pluralisme artistik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk pertama kalinya, pemerintah tidak lagi mendikte tren dan produksi artistik, meskipun Keshogunan membatasi konsumsi artistik di antara rakyatnya. Tren artistik di Edo mencerminkan pertumbuhan dalam budaya populer dan permintaan seni dengan daya tarik massa.
Keshogunan membangun jaringan saluran air yang luas dan lima jalan raya utama yang menghubungkan tiga kota besar Edo, Kyoto, dan Osaka dengan kota-kota kecil dan pelabuhan, serta memfasilitasi perjalanan bagi semua kelas. Selain bisnis, ziarah adalah alasan paling umum untuk bepergian. Orang-orang biasa melakukan ziarah ke tempat-tempat keagamaan, seperti kuil Buddha yang terkenal, kuil Shinto kuno, tempat-tempat terkenal seperti Gunung Fuji, dll. Orang-orang sering bepergian dengan dalih ziarah keagamaan, yang sebenarnya ingin meninggalkan kehidupan rutin mereka untuk sementara.
(featured image: Kotobank)