Berita Jepang | Japanesestation.com

Orang Jepang memang dikenal sebagai pekerja keras. Bahkan, para pekerja ini kerap kali bekerja hingga larut malam tanpa diberikan uang lembur sama sekali. Karena itu, hadirnya industri hiburan malam bisa jadi “penghibur” bagi karyawan lelah ini. Sayangnya, di tengah wabah COVID-19 seperti sekarang, bisnis hiburan malam Jepang harus ditutup.

Sebelum wabah mematikan ini menyebar, jika berjalan malam hari di Dotonbori di Osaka, atau Roppongi di Tokyo, kamu akan melihat pemandangan ramai di mana restoran-restoran, club dan bar terlihat penuh sesak. Para pekerja hiburan malam pun terlihat sedang sibuk menghibur pelanggannya.

hiburan malam Jepang

Pemandangan serupa juga terlihat di Kabukicho. Area ini dikenal sebagai red-light district di area yang tak pernah tidur, Shinjuku. Di Kabukicho, kamu akan menemukan berbagai tempat hiburan malam seperti panti pijat, hostess club, love hotel, dan berbagai hiburan lainnya. Penasaran dengan isi Kabukicho? Tonton saja video di bawah ini!

Sebelum lebih lanjut, ada yang perlu diketahui nih. Meski berada di red light district yang identik dengan industryisex, kebanyakan kyabakura hostess club tidak seperti itu. Meski para gadis muda itu menghibur para pria lebih tua, aktivitas yang mereka lakukan hanya mengobrol sambil menyajikan minuman. Malah, ada aturan bahwa tidak boleh “terlalu dekat” dengan para hostess ini lho.

Ditutupnya Tempat Hiburan Malam Jepang

Di era social distancing ini, Kabukicho menawarkan keintiman yang “lebih” dari yang direkomendasikan. Saking intimnya, menjadi hal berbahaya.  Ya, baru-baru ini surat kabar Yomiuri melaporkan tentang penyebaran virus COVID-19 yang menimpa para pekerja di area ini. Sedikitnya 10 orang telah dilaporkan mengidap penyakit pernapasan di suatu malam pada awal April.  Penyebaran virus pun meluas mengingat banyaknya pekerja yang duduk berdekatan dengan tamu-tamu mereka di club.

Hiburan malam Jepang

Karena itu tidak mengagetkan jika penyebaran virus di distrik ini berkembang dengan kecepatan tinggi. Menurut para pekerja, penyebaran sangat tinggi di sekitar bulan Maret.  Pemerintah pun mulai melacak awal penyebaran virus. Namun sayangnya, cukup sulit karena beberapa orang yang menggunakan jasa mereka sama sekali tidak memberi data pribadinya, membuat susahnya kerja sama antara pekerja dan pealanggan.  Karena putus asa, Kenichi Yoshizumi, wali kota area tersebut memerintahkan agar para penduduk menghindari area hiburan malam.

Nyatanya, Yoshizumi tidak sendirian. Pada 7 April, perdana menteri Shinzo Abe mengumumkan kasus darurat untuk Tokyo dan 6 prefektur lain.  Karena itu, Abe mieminta agar distrik hiburan malam ini tidak beroperasi selama wabah COVID-19 masih menyebar.

Meminta Pertolongan pada Pemerintah untuk Membasmi Diskriminasi.

Seperti pekerja lain, para pekerja hiburan malam juga mengalami krisis finansial. Meski pemerintah telah memberi pertolongan namun tak semua orag bisa mendapat subsidi seperti ini.

Menurut Japan Times, Swash, sebuah grup untuk para pekerja sekse tengah merayu Kementerian Kesehatan Jepang untuk memperluas requirement-nya. Kini, pemerintah memang memberikan bantuan bagi para orang tua yang terpaksa untuk “libur” kerja karena ada anak yang harus dijaganya.

Sayangnya, program ini tidak memperhatikan nasib para pekerja seks, host, dan hostess. Hal ini dianggap sebagai sebuah bentuk diskriminasi. Menurut Yukiko Kaname, kepala Swash, "program pemerintah seharusnya dapat menghapuskan diskrimonasi dan meluruskan pandangan orang lain terhadap insustri sex.”

Tentu tak bisa membayangkan dunia tanpa night clubs. Meskipun begitu, ini semua dilakukan agar corona vius menghilang dari muka bumi ini.