Berita Jepang | Japanesestation.com
Pemuda bernama
Ferry Zainal Arifin asal Dusun Sendangbiru RT 06 RW 02, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang mengikuti program magang kerja di
Jepang meninggal. Jenazah Ferry tiba di rumah keluarganya pada Ahad petang, 23 November 2014, dan dikebumikan di tempat pemakaman umum setempat. Pemuda 20 tahun itu diketahui menggantung diri di pintu asrama tempatnya bekerja pada Ahad, 16 November 2014. Pemuda lulusan Sekolah Menengah Kejuruan Muhammadiyah 7 (SMK Mutu) Gondanglegi itu mengikuti program kerja magang selama tiga tahun lewat Yayasan Coop Indonesia (YCI). YCI merupakan lembaga penyelenggara pemagangan kerja ke luar negeri yang berdiri pada 2010 dan berkantor di lantai 19 Gedung Arthaloka, Jalan Jenderal Sudirman Kaveling 2, Jakarta. Pemagang di Jepang, seperti Ferry, disebut
kenshusei. Ferry diberangkatkan bersama
Bagus Sugiarto, pemuda asal Dusun Bantur Timur, Desa Bantur, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Mereka ditempatkan di Yamashita Suisan, sebuah perusahaan pengolahan hasil laut yang beralamat di Ogaki-cho, Kakiura, Etajima-shi, Prefektur Hiroshima. Mereka mulai bekerja per 29 September lalu. Perwakilan YCI,
Triyanto, mengatakan kematian Ferry murni akibat bunuh diri sebagaimana disampaikan kepolisian setempat dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Osaka. Selain ke kantor perwakilan diplomatik Indonesia di Jepang, informasi kematian Ferry dikabarkan YCI ke beberapa pihak terkait, termasuk Kepolisian Resor Malang dan kepala Desa Tambakrejo.
"Kematian Ferry betul-betul karena gantung diri. Namun, penyebab ia gantung diri itu yang belum pasti. Kami masih dalami masalahnya," kata Triyanto seusai pemakaman Ferry. Pihak YCI belum bisa memastikan keluarga Ferry mendapatkan asuransi atau tidak karena kematian Ferry bukan akibat kecelakaan kerja. Sebagai tenaga magang, Ferry mendapatkan jaminan asuransi. Pencairan dana asuransi itu harus melalui beberapa tahap. Karena Ferry meninggal bukan karena kecelakaan kerja, YCI hanya memberikan uang duka kepada orang tua Ferry. Kepala Desa Tambakrejo
Sudarsono membenarkan keterangan Triyanto. Ia mengaku sudah membaca surat pernyataan dari pihak kepolisian Jepang dan Kementerian Luar Negeri yang diwakili KJRI Osaka. Surat itu menyatakan bahwa Ferry melakukan bunuh diri. Sudarsono hanya bisa menduga motif yang mendorong Ferry nekat menghabisi dirinya sendiri.
"Bisa juga korban panik, tidak sanggup menyelesaikan tugasnya di sana. Karena budaya kerja di Jepang dan Indonesia sangatlah berbeda. Semua keluarga menganggap ini semua musibah," kata Sudarsono, yang juga tokoh nelayan Sendangbiru. Menurut Sudarsono, selain keluarga dan kerabat, ia dan warga desa juga merasa sangat berduka. Keikutsertaan Ferry dalam program magang kerja di Jepang menjadi kebanggaan bagi keluarga dan warga desa lantaran Ferry lulus tes yang ketat sehingga berhasil membuktikan diri sebagai pemuda terbaik Desa Tambakrejo. Ferry sangat diharap bisa menularkan pengalaman dan ilmu pengetahuan yang didapatnya selama bekerja magang di Jepang, terutama membagi pengetahuan dan keterampilan budi daya rumput laut dan mutiara yang didapatnya di Yamashita Suisan. Tempo mencatat bahwa pemerintah Jepang tidak mengizinkan pekerja tak terampil masuk ke negaranya. Namun, pada 1993, saat perekonomian menurun setelah mencapai puncak pada 1980-an, pemerintah Jepang mencanangkan Program Magang Teknik dan Pelatihan. Program ini memungkinkan puluhan ribu orang asing, terutama dari Cina, Vietnam, dan Indonesia, datang ke Jepang untuk bekerja, terutama di industri tekstil, konstruksi, pertanian, kelautan, dan manufaktur, dengan durasi waktu tiga tahun. Pemerintah Jepang berencana memperluas program magang itu sehingga para kenshusei bisa bekerja selama lima tahun. Berdasarkan pengalaman Tempo selama hampir dua tahun menetap di Jepang, program magang mengondisikan orang tidak bisa begitu saja meninggalkan pekerjaan. Para kenshusei dituntut cepat beradaptasi dalam lingkungan kerja agar mereka segera terbiasa dan mampu bekerja dalam ritme yang cepat dan ketat, disertai sikap yang harus senantiasa mematuhi aturan kedisiplinan yang tinggi pula. Dampaknya, seperti yang dijumpai Tempo, banyak kenshusei yang mengalami stres dan depresi pada awal-awal masa bekerja, terlebih bila melihat kenyataan bahwa ada orang Jepang yang tewas karena kebanyakan kerja alias
karoshi. Mereka umumnya mengalami gegar budaya dan kaget melihat kondisi tempat mereka bekerja karena tak sepenuhnya sesuai dengan yang mereka alami saat mengikuti seleksi dan pelatihan di Tanah Air.