Pada bulan Januari, seekor tuna sirip biru dibeli oleh seorang pemilik restoran kaya di Tokyo dengan harga hampir 2 juta dolar, menunjukkan seberapa besar industri sushi menghargai makhluk ini. Koki Jepang profesional menangani potongan daging tuna sirip biru dengan hormat. Sepotong daging perut tuna yang berlemak, yang disebut toro dalam bahasa Jepang, dapat berharga sekitar 2.500 yen. Tuna sirip biru mungkin adalah ikan paling mahal dan paling berharga di dunia saat ini.
Tapi tidak selalu seperti ini. Beberapa dekade lalu, ikan ini tidak berharga di seluruh dunia. Orang-orang menangkap mereka hanya untuk bersenang-senang, dan meskipun hanya sedikit yang pernah memakan hasil tangkapan mereka, mereka biasanya juga tidak melepaskan tuna ini. Selama puncak kegemaran memancing ikan tuna di tahun 1940-an hingga 60-an, ikan-ikan besar ditimbang dan difoto, lalu dikirim ke tempat pembuangan sampah, atau dihaluskan menjadi makanan hewan. Mungkin skenario terbaik adalah ketika tuna sirip biru yang mati dibuang kembali ke laut, di mana setidaknya biomassa mereka didaur ulang ke dalam jaring makanan laut.
Daging sapi merah, banyak yang mengatakan memiliki aroma dan rasa yang kuat, dan, secara historis, selera Jepang lebih menyukai spesies yang lebih ringan, seperti berbagai ikan dan kerang berdaging putih. Spesies tuna lainnya juga, termasuk sirip kuning dan matabesar, tidak populer di Jepang, dan baru pada abad ke-19 hal ini mulai berubah.
Trevor Corson, penulis buku The Story of Sushi tahun 2007, mengatakan kepada Food and Think dalam sebuah wawancara bahwa peningkatan penangkapan tuna tahun 1830-an dan awal 1840-an menjadikan tuna daging yang murah dan dijual oleh pedagang kaki lima. Dagingnya sama sekali bukan makanan yang lezat, dan juga tidak dikenal sebagai produk makanan. Faktanya, tuna biasa disebut neko-matagi, yang berarti “ikan yang bahkan akan dihina oleh kucing”.
Tetapi satu koki sushi di pinggir jalan mencoba sesuatu yang baru, menyajikan tuna sebagai "sushi nigiri". Tuna menjadi semakin populer di tahun 1970-an, dan cara orang Jepang memandang daging ikan kemerahan mulai berubah. Ini menandai titik balik dalam sejarah sushi.
Tiba-tiba, tuna sirip biru menjadi salah satu ikan yang paling dicari, tidak hanya oleh nelayan Jepang, tetapi juga oleh nelayan Amerika dan Kanada. Menurut Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam, antara tahun 1970 dan 1990 penangkapan ikan sirip biru di Atlantik Barat meningkat lebih dari 2.000 persen. Harga rata-rata yang dibayarkan kepada nelayan untuk tuna sirip biru yang diekspor ke Jepang naik 10.000 persen. Dan memang sebagian besar diekspor ke Jepang. Bahkan hari ini, tuna sirip biru yang ditangkap di lepas pantai New Hampshire akan dikirim ke Tokyo sebelum berakhir di piring sushi di tempat lain.
Pada saat itu, pesawat kargo yang mengirimkan barang elektronik dari Jepang ke Amerika Serikat dan biasa pulang dalam keadaan kosong mulai memanfaatkan kesempatan untuk membeli bangkai tuna murah di dekat dermaga pemancingan New England, dan menjualnya kembali di Jepang seharga ribuan dolar.
Namun, spesies ini telah jatuh dari yang awalnya melimpah menjadi kelangkaan. Diperkirakan hanya muncul 9.000 tuna sirip biru yang masih hidup setiap tahun di Mediterania. Seorang ilmuwan Inggris bernama Callum Roberts memperkirakan bahwa untuk setiap 50 sirip biru yang berenang di Samudera Atlantik pada tahun 1940, hanya ada satu di tahun 2010. Menurut sebagian besar catatan, populasinya turun lebih dari 80 persen. Kelangkaan ini pula yang menjadikan harganya sangat fantastis.
“Tuna jenis ini memiliki rasa besi yang berbeda, tidak terlalu halus atau tajam, dan meleleh di mulut. Ini membuatnya sangat mudah untuk disukai.” Corson mengatakan bahwa "penggemar sushi jadul yang masih setia pada sushi versi lama" memiliki pendapat yang sama. Sensasi meleleh di mulut dari tuna sirip biru yang terbukti sangat laku dianggap sederhana dan tidak keren. “Mereka menganggap toro semacam untuk amatir,” kata Corson. Sebaliknya, para penikmat sushi tradisional lebih menikmati jaringan otot hewan yang seringkali lebih renyah dan lebih lembut, seperti cumi-cumi, kerang, dan lain-lain.
Sumber: Smithsonian Magazine, The Atlantic