6. Kyoto: 'The Old Capital' karya Yasunari Kawabata
Jika ingin membayangkan bagaimana rasanya jalan-jalan di Kyoto dan mengenal kehidupan penduduknya, “The Old Capital” adalah pilihan terbaik. Novel ini benar-benar memperlihatkan suasana Kyoto di sepanjang tahunnya, perubahan-perubahan yang terjadi, dan beberapa festival khasnya, seperti Gion Festival dan Aoi Matsuri.
Yasunari Kawabata mampu membuat para pembaca novelnya serasa menikmati dan mempelajari budaya Kyoto secara perlahan dan tidak menggurui. Benar-benar bagus untuk dibaca!
7. Kyoto: 'The Temple of the Golden Pavilion' karya Yukio Mishima
Salah satu tempat yang ingin dikunjungi semua orang saat pergi ke Kyoto adalah Kinkakuji, kuil dari Golden Pavilion. Kuil berlapis golden leaf ini merupakan simbol dari budaya Kitayama di Era Muromachi (1336-1573).
Nah, novel 'The Temple of the Golden Pavilion' ini terinspirasi dari insiden kebakaran pada tahun 1950 saat seorang biksu membakar Golden Pavilion. Sang karakter utama, seorang biksu cacat, membakar kuil cantik ini karena tidak tahan melihat kecantikannya.
Kini, Golden Pavilion telah kembali dibangun dan menjadi salah satu situs sejarah di Jepang. Intinya, cerita ini bakal membuatmu benar-benar ingin melihatnya langsung saat ke Kyoto nanti!
8. Wakayama: 'The River Ki' karya Sawako Ariyoshi
Novel 'The River Ki' menceritakan tentang tiga generasi wanita yang hidup seiring dengan perubahan zaman di Jepang, mulai dari era Meiji (1868-1912), Taisho (1912-1926) hingga akhir Perang Dunia II di pertengahan Zaman Showa (1926-1989).
Latar belakang novel ini adalah sebuah desa di dekat Sungai Ki di Wakayama, di mana sang karakter utama, Hana, menghabiskan hidupnya. Dan sebagai pembaca, kamu akan melihat ritual-ritual dan kehidupan tradisional di rumah Jepang pada abad 20.
Sungai Ki sendiri memang menjadi saksi bisu bagaimana perubahan sejarah di negeri sakura dan novel ini menyajikannya dengan baik. Di dalam novetl, diperlihatkan bagaimana kehidupan keluarga Jepang di abad ke-20, juga ikatan kuat antara alam dan kehidupan manusia. Setelah membacanya, kamu pasti ingin melihat Sungai Ki dengan mata kepalamu sendiri!
9. Ehime: 'The Silent Cry' karya Oe Kenzaburo
Karakter utama dari 'The Silent Cry' adalah seorang pria yang menjalani kehiduoan barunya setelah anaknya lahir dengan penyakit mematikan dan sahabatnya tewas bunuh diri. Bersama dengan sang istri dan adik laki-lakinya, ia kembali ke kampong halamannya di Ehime di Pulau Shikoku.
Salah satu ciri khas Shikoku adalah hutan yang mengelilingi desanya, dan novel ini berhasil menggambarkannya dengan sempurna. Meski kini kota ini sudah semakin berkembang, hutannya masih saja lebat lho.
Cerita yang menggambarkan kisah seseorang di tengah perubahan memang menjadi fitur terkuat dalam buku-buku Oe, termasuk buku ini. Intinya, novel ini bisa jadi bacaan sempurna di tengah kehidupan yang berubah krena new normal kan?
10. Ehime: 'Botchan' karya Soseki Natsume
Jika kamu membaca 'The Silent Cry' sebelumnya, kamu pasti mebayangkan kalau Shikoku adalah sebuah tempat gelap yang ditutupi dengan hutan lebat kan? Ternyata tidak juga, coba saja baca novel 'Botchan' karya Soseki Natsume.
Sebagian besar cerita terjadi dalam novel terjadi di Matsuyama, ibu kota Prefektur Ehime, di mana sang protagonis, Botchan, bekerja menjadi seorang guru matematika SMP.
Cerita ini memperlihatkan Matsuyama pada zaman Meiji yang cerah, hangat, dan “hidup”, dilihat dari mata seorang pemuda yang sangat bangga akan kota asalnya, Tokyo. Dogo Onsen, pemandian air panas favorit Botchan juga kini telah menjadi onsen favorit di Jepang lho!
Membaca novel-novel Jepang di atas bisa jadi pedomanmu sebelum jalan-jalan ke Jepang nantii kan?