Berita Jepang | Japanesestation.com

Masaki Kitakoga (33) terlihat memasuki sebuah booth mungil dengan sebuah meja dan sebuah kursi, lalu bernyanyi di booth itu selama 90 menit lamanya. Sendirian. Dan tak hanya sekali, ternyata ia rutin melakukan kegiatan solo karaoke itu. Ya, Kitakoga adalah salah satu dari sekian banyak orang Jepang yang lebih memilih aktivitas solo untuk menjalani hidupnya, atau sebutannya, ohitorisama alias budaya single di Jepang.

Sebenarnya, sebelum budaya ohitorisama menjadi sebuah tren di Jepang, pada 1 dekade sebelumnya, orang Jepang cenderung tak ingin sendirian. Dikutip dari BBC, sekitar 10 tahun ke belakang, masih banyak orang Jepang yang malu ketika terlihat makan seorang diri di kantin sekolah atau kantor, membuat mereka yang “tak punya teman” ini memilih untuk makan di sebuah bilik kamar mandi. Fenomena ini benar-benar terjadi, sebutannya, “benjo meshi” alias “makan siang di toilet.”  

budaya single Jepang ohitorisama japanesestation.com
Masaki Kitakoga tengah menikmati waktunya karaoke seorang diri di sebuah booth 1kara di Tokyo (AFP)

Namun, nyatanya lama kelamaan mulai banyak orang Jepang yang meninggalkan budaya tersebut dan muncullah tren ohitorisama ini. Bahkan, tempat-tempat khusus untuk didatangi sendirian pun mulai menjamur di Jepang.

“Beberapa orang ingin menikmati waktunya sendirian, sedangkan sebagian orang lagi ingin terlibat dalam sebuah komunitas baru,” ujar Miki Tateishi, seorang bartender di Bar Hitori, sebuah bar di distrik kehidupan malam Tokyo, Shinjuku, yang didesain khusus bagi para solo drinker.

Menurut Tateishi, ia percaya bahwa “peraturan single” uang dimiliki bar tempatnya bekerja dapat menolong konsumen potensial yang introvert atau tak nyaman dengan kelompok besar dan bar pada umumnya. Di sini, konsumen dapat berinteraksi satu sama lain dalam lingkungan yang hanya berisi beberapa orang saja. Adanya bir dan keadaan yang “sempit” pun membantu interaksi terjadi lebih mudah.

budaya single Jepang ohitorisama japanesestation.com
Ilustrasi karaoke sendirian (pakutaso.com)

Dan nyatanya, meski beberapa orang berpendapat bahwa orang Jepang yang terbiasa hidup berkelompok akan membuat orang ingin hidup bersama orang lain dan sulit mendapatkan waktu untuk berkegiatan sendirian, para analis mengatakan hal sebaliknya.

Dilansir dari Bussiness Times, para analis mengungkapkan bahwa demografi Jepang di mana banyak keluarga yang hanya beranggotakan satu orang saja, membuat Jepang sangat sempurna untuk menjadi pusat pengembangan “solo market” bagi para ohitorisama, karena cukup banyak orang yang ingin “me time” di tengah-tengah kehidupan dan kultur kerja Jepang yang gila kerja dan serba cepat.

Selain bar, bisnis terkait budaya ohitorisama ini sudah banyak berkembang. Coba saja cari kata tersebut dalam bahasa Jepang di kolom search Instagram dan Twitter, kamu akan menemukan ribuan foto berisi makanan di restoran, lorong bioskop, tenda di sebuah perkemahan, karaoke 1kara (karaoke solo) atau foto sarana transportasi yang menyiratkan bahwa itu adalah sebuah aktivitas single. Setiap harinya, makin banyak saja orang yang mendeklarasikan cinta mereka pada budaya ohitorisama di media sosial dan tak malu lagi sendirian seperti satu dekade lalu.

budaya single Jepang ohitorisama japanesestation.com
Ilustrasi jalan-jalan sendirian (pakutaso.com)

Memang, tak aneh jika orang Jepang makin menyukai budaya single ini dan membuat istilah “super solo society” ("masyarakat super solo") menjadi perbincangan di kalangan peneliti hubungan sosial dan marketing. Fenomena berkembangnya bisnis solo ini menolong para bagian dari pecinta budaya ohitorisama dari tekanan-tekanan hidupnya, sejenak menikmati hidup tanpa gangguan siapapun.

Dengan situasi ohitorisama yang terus berkembang ini, banyak ilmuwan yang memprediksi bahwa penganut budaya ohitorisama akan terus bertambah hingga tahun 2030 mendatang. Apakah benar? Mari kita lihat nanti!

Nah, itulah sekilas tentang ohitorisama, budaya single di Jepang. Bagaimana menurutmu?

Sumber:

BBC

Bussiness Times