Kaligrafi Jepang atau yang dalam bahasa Jepang disebut shodo, adalah tulisan artistik yang berasal dari karakter atau huruf Jepang. Tulisan ini memiliki teknik dan prinsip-prinsip yang mirip dengan kaligrafi China. Metode yang sering dipakai untuk membuat shodo adalah dengan menulis karakter menggunakan tinta (sumi) di atas kertas murbei (washi) dan menggabungkan bentuk gaya tulisan dasar yang sama seperti gaya dari China. Gaya penulisan seperti ini bisa juga digunakan untuk membuat tulisan segel (tensho), tulisan formal (reisho), tulisan biasa (kaisho), semi-kursif (gyousho), dan kursif (cāoshuu).
Kaligrafi Jepang berasal lebih dari 4.000 tahun yang lalu. Pada abad ke-29 SM di China, orang-orang menulis piktograf keagamaan di atas tulang. Tulisan-tulisan itu akhirnya berkembang menjadi alat yang dipakai untuk kepentingan negara. Perdana Menteri Dinasti Qin, Li Si, memutuskan pentingnya memiliki tulisan yang seragam. Gaya tulisan yang ia kukuhkan melibatkan huruf-huruf yang semuanya bisa ditulis dengan menggunakan maksimal delapan goresan masing-masing, dan dapat masuk ke dalam kotak ukuran yang telah ditunjuk. Li Si juga memutuskan semua garis atau goresan horisontal akan menjadi yang pertama ditulis, dan huruf-hurufnya digambar dari bawah ke atas dan dari kiri ke kanan. Simbol-simbol ini sangat kaku, karena alat-alat yang digunakan untuk membuatnya. Penemuan kuas tinta basah memungkinkan orang-orang untuk menulis huruf lebih baik dan untuk membuat variasi ketebalan garis. Berkat kemajuan teknologi ini, gaya tulisan sekarang bisa disampaikan dengan bagaimana huruf itu ditulis.
Gaya ini menjadi populer di Jepang sekitar 600 tahun sejak kalender Masehi dimulai. Tak lama kemudian, dikenal sebagai karayou dan masih dipraktekkan saat ini di Jepang. Contoh tertua yang masih ada adalah prasasti yang ditulis di halo dari patung Bhaisajyaguru. Teks Shakeitai ini masih dapat ditemukan di kuil Houryuu-ji hari ini. Harta lain dari kuil ini adalah catatan bibliografi dari Lotus Sutra (Hokke Gisho), ditulis sekitar abad ke tujuh. Benda ini dianggap sebagai teks tertua di Jepang dan ditulis dalam huruf kursif. Dari hasil karya ini telah terbukti bahwa kaligrafi dari periode Asuka sudah sangat-halus.
Kaligrafi Jepang telah berkembang dan kini diajarkan sebagai subjek yang diperlukan di sekolah dasar di Jepang. Di SMA Jepang, kaligrafi adalah kelas seni elektif, mirip dengan melukis atau bermusik. Banyak universitas di Jepang, termasuk Universitas Tokyo, Universitas Pendidikan Fukuoka, dan Universitas Tsukuba, memiliki jurusan yang didedikasikan untuk mempelajari kaligrafi dan melatih mahasiswanya untuk mengajarkan bentuk seninya. Para biksu Budha melakukan praktek yang dikenal sebagai kaligrafi Zen. Hal ini berbeda dari kaligrafi normal. Landasan bentuk kaligrafi ini didasarkan pada prinsip-prinsip Zen Buddhisme, berfokus pada semangat dan melihat melebihi wujud fisiknya. Untuk menulis kaligrafi Zen, seseorang harus membersihkan pikiran mereka dan membiarkan huruf-hurufnya mengalir keluar. Keadaan pikiran yang harus dicapai untuk melakukan praktik ini disebut mushin, yang berarti "mengosongkan pikiran". Istilah ini diciptakan oleh filsuf terkenal Jepang Nishida Kitaro.
Kaligrafi Jepang adalah contoh bagaimana suatu tugas yang bermanfaat, seperti menulis, bisa diubah menjadi sebuah seni. Meskipun seni ini telah berkembang banyak sepanjang sejarah Jepang, tapi masih merupakan bentuk seni yang sangat populer di Jepang.
(おわる)
役に立つ かも しれ