Berita Jepang | Japanesestation.com

Seniman Hiroko Yokoyama (game SNK's Ikari Warriors, Crystalis, Guerrilla War) beberapa waktu lalu mengunggah post dalam Twitter-nya tentang diskriminasi seksis yang ia saksikan di industri video game Jepang pada sekitar waktu pengenalan teknik 3D. Dia menggambarkan berbagai anekdot yang menunjukkan beragam tren membingungkan yang banyak wanita di Jepang terus hadapi hingga hari ini.

Seniman Hiroko Yokoyama Membahas Seksisme di Industri Permainan Jepang Era 90-an
Gambar oleh Anime News Network

Yokoyama menjelaskan bahwa ketika game 3D mulai lepas landas pada tahun 1990-an, perusahaan memilih beberapa karyawan tertentu untuk dikirim ke seminar dan kursus pelatihan tentang poligon, data 3D, dan topik terkait. Dia mengatakan bahwa sebuah perusahaan tertentu telah memutuskan untuk mengirim beberapa orang ke kursus seperti itu, tetapi orang yang bertanggung jawab secara otomatis menolak wanita berminat.

Yokoyama melaporkan bahwa bosnya berkata, "Karena wanita akan keluar dari perusahaan ketika mereka menikah, sehingga teknik tersebut tidak akan tetap ada di perusahaan. Oleh karena itu, tidak ada gunanya membiarkan wanita mengambil kursus." Pernyataan pria itu berhubungan dengan tren yang kerap terjadi — yang berlanjut di Jepang hingga hari ini — wanita berhenti dari pekerjaannya setelah menikah dan memulai keluarga. Kata-kata sang bos juga menekankan harapan di Jepang bahwa karyawan akan tetap bekerja dengan satu perusahaan tertentu selama karir mereka, bukannya pindah ke berbagai perusahaan.

Tidak lama setelah menyelesaikan kursus, kedua pria yang dikirim oleh perusahaan ke pelatihan berhenti tanpa mengajarkan teknik tersebut ke rekan kerja mereka. Yokoyama mencatat bahwa siapa pun bisa keluar dari perusahaan karena berbagai keadaan, tanpa memandang jenis kelamin mereka.

Seniman Hiroko Yokoyama Membahas Seksisme di Industri Permainan Jepang Era 90-an
Gambar oleh Anime News Network

Dia menambahkan bahwa orang-orang dengan pengetahuan teknis dapat menerima perlakuan istimewa dalam karir mereka dan dapat berpindah pekerjaan dengan lebih mudah. Yokoyama mengatakan bahwa dia merasa sangat menyayangkan bahwa kesempatan para wanita untuk belajar secara otomatis telah dihancurkan. Dia berkata, "Saya ingin berpikir bahwa hal itu tidaklah sama sekarang."

Yokoyama menyebutkan bahwa dia sendiri tertarik untuk belajar keterampilan baru saat itu, tetapi dia memutuskan untuk tidak mendaftar karena sifat bosnya dan statusnya sebagai wanita yang sudah menikah. Bosnya pernah mengatakan bahwa wanita "tidak dapat bekerja dengan benar" setelah memiliki anak. Pada dasarnya, Yokoyama mencatat, perempuan kehilangan hak untuk belajar keterampilan baru setelah menikah. Di sisi lain, mereka juga sudah menghadapi ketidakmampuan untuk mempelajari keterampilan tersebut di saat belum menikah, seperti yang dia jelaskan di tweet sebelumnya. Yokoyama mengatakan bahwa dia merasa bahwa bukanlah kepala perusahaan pada saat itu yang menjadi akar masalah, tetapi manajemen menengah yang cenderung bersikap seksis terhadap perempuan.

Dalam sebuah tweet terpisah, Yokoyama mendeskripsikan bagaimana laki-laki terkadang mengejek perempuan karena ketidakmampuan mereka mencerna "lelucon". Dia mengatakan bahwa seorang pria yang bekerja dengannya berulang kali bercanda bahwa dia tidak dapat melakukan pekerjaannya dengan benar karena dia adalah seorang "otaku yang gemuk dan jelek". Sementara itu, pria itu akan berperilaku berbeda dan berusaha terlihat baik di sekitar wanita yang menarik, pria lain, dan para atasan.

Seniman Hiroko Yokoyama Membahas Seksisme di Industri Permainan Jepang Era 90-an
Gambar oleh Anime News Network

Yokoyama mengatakan dia mampu melanjutkan pekerjaannya sebagai seniman sampai saat ini karena dukungan dari guru, suami, dan orang-orang yang menyukai seninya. Dia mengucapkan banyak terima kasih kepada orang-orang di berbagai cakupan yang telah mendukungnya.

Cuitan Yokoyama adalah jawaban terhadap tren Twitter saat ini yang menggunakan tagar "It's OK for us to get mad at discrimination against women". Kampanye media sosial itu sendiri merupakan tanggapan terhadap berita beberapa waktu lalu bahwa Universitas Kedokteran Tokyo telah menurunkan nilai hasil ujian masuk pelamar perempuan setidaknya sejak tahun 2011. Investigasi internal mengkonfirmasikan laporan media bahwa universitas telah berusaha untuk mengatur persentase perempuan yang berhasil lolos. Tahun ini, tingkat kelulusan akhir di universitas adalah 8,8 untuk pria tetapi hanya 2,9 persen untuk wanita.