Beberapa waktu lalu, ada peraturan sekolah aneh yang menjadi kontroversial, yaitu sekolah yang mewajibkan siswanya untuk mengenakan pakaian dalam berwarna putih.
Yang menjadi perdebatan bukan apakah para siswa tidak boleh memakai pakaian dalam berwarna lain, melainkan pihak sekolah yang memeriksa secara langsung pakaian dalam yang dikenakan siswa. Seperti guru atau administrator sekolah yang menarik tali bra anak perempuan, atau memeriksa pakaian dalam siswa ketika mereka berganti pakaian olahraga.
Menanggapi keprihatinan peraturan sekolah yang melanggar privasi siswa dan juga hak asasi manusia mereka, dewan pendidikan Prefektur Saga melakukan studi tentang peraturan yang ditanyakan kepada 51 sekolah menengah dan atas yang dikelola oleh prefektur.
Ditemukan 14 dari 51 sekolah yang memiliki peraturan untuk berpakaian dalam warna putih. Namun dalam pertemuan yang diadakan minggu ini, dewan mengumumkan bahwa 14 sekolah tersebut telah menghapus peraturan itu, yang berarti tidak akan ada lagi pemeriksaan pakaian dalam siswa. Sebagai tanggapan mengenai masalah identitas gender, maka perbedaan seragam sekolah antara laki-laki dan perempuan juga dihapuskan di 35 sekolah.
Selain itu, tiga sekolah yang mewajibkan siswanya untuk menyerahkan dokumentasi bahwa rambut mereka yang tidak hitam atau keriting alami juga telah menghapus peraturan tersebut, dan tampaknya akan mempercayai perkataan siswa bahwa mereka belum mengecat atau mengeriting rambut mereka yang mana umumnya bertentangan dengan peraturan sekolah di Jepang.
Kini kebebasan juga diberikan oleh dua sekolah yang sebelumnya melarang siswa menggunakan selimut di pangkuan mereka (ruang kelas sering tidak dipanaskan bahkan ketika musim dingin). Dan juga dua sekolah lain yang sebelumnya tidak mengizinkan memasang gantungan kunci karakter di tas sekolah mereka, kini sudah diizinkan.
13 dari 38 sekolah yang memiliki peraturan yang mengatur warna kaos kaki dan sweater juga telah memutuskan bahwa para siswa dapat membuat pilihan sendiri mulai dari sekarang tanpa takut terhenti pada perkembangan akademis mereka.
Tentu saja masih banyak sekolah di Jepang yang memberlakukan peraturan aneh di sekolahnya. Tetapi setidaknya siswa di prefektur Saga tidak akan merasakan peraturan-peraturan aneh itu lagi. Dibanding dengan mengatur perilaku siswa, lebih baik memastikan lagi apakah para siswa sudah berkontribusi dengan baik di lingkungan sekolah.