Muslim di Jepang kian bertambah saja. Sayangnya, meski makanan halal dan kultur Musliim bukan lagi hal yang aneh di Jepang, umat muslim di Jepang tetap memiliki 1 masalah besar. Ya, hampir tak ada tempat pemakaman bagi umat Muslim di Jepang.
Dilansir dari Mainichi, di Prefektur Oita, perencanaan pembangunan sebuah pemakaman Muslim mendapatkan penolakan dari penduduk setempat. Dalam agama Buddha, orang yang meninggal akan dikremasi dan dikebumikan, namun, Muslim akan dikubur setelah meniggal. Inilah yang membuat orang Jepang menolaknya, mereka nampaknya masih cemas dan minim pengetahuan tentang cara pemakaman tersebut.
Saeed Zafar (39), seorang karyawan asal Pakistan yang bekerja di sebuah perusahaan di Beppu, Prefektur Oita, pun ikut stress dengan masalah pemakaman ini. Pada Desember 2011 silam, ia kehilangan putra pertamanya setelah ia lahir prematur. Namun, ternyata di area Kyushu tak ada pemakaman untuk Muslim. Untungnya, sebuah gereja katolik di kota tersebut menawarkan agar Zafar memakamkan anaknya di tanah pemakaman milik gereja tersebut. Sayangnya, kini tak ada lagi tempat kosong di tanah pemakaman tersebut, membuat para Muslim khawatir. Karena itu, asosiasi keagamaan Beppu Muslim mencoba untuk membuat tempat pemakaman Muslim pertama di Kyushu, dan membeli sebuah lahan berukuran 8.000 meter persegi di Hiji.
Undang-Undang Makam dan Penguburan Jepang sendiri tidak menetapkan batasan apa pun terkait penguburan. Memang, beberapa kota melarang penguburan, tapi Hiji tidak memiliki larangan tersebut selama Walikota Hirofumi Honda memberikan izin.
Tanah yang dibeli itu terletak di daerah pegunungan sekitar 3 kilometer dari pemukiman terdekat dan berdampingan dengan pemakaman interniran umum dan pemakaman Katolik.
"Saya pikir kami akan mampu menyelesaikan masalah ini,” ujar perwakilan asosiasi, Tahir Khan (53) pada Mainichi.
Namun, kenyataan tak berjalan semulus bayangan. Dalam rapat yang diadakan dari Februari hingga Mei lalu, asosiasi tersebut mendapat penolakan. Beberapa komentar yang mereka terima adalah sebagai berikut, “Jika ada gempa bumi yang kuat, apakah mayat-mayat itu tidak akan keluar dari tanah?" dan, "Itu akan merusak citra kota ini." Bahkan, beberapa warga mengajukan petisi kepada pemerintah kota dan majelis untuk menghentikan pembangunan kuburan tersebut. Karena itu, meski awalnya dijadwalkan dibuka pada bulan September, hingga kini mereka masih belum mengantongi izin untuk membangun pemakaman tersebut.
Hiji memang memiliki peraturan untuk mempertimbangkan kembali karena hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap sanitasi, namun, divisi kehidupan dan lingkungan pemerintah kota telah mengatakan bahwa pemakaman tersebut tidak memiliki masalah terkait kesehatan masyarakat.
"Saya khawatir apa yang akan terjadi setelah kami meninggal nanti," ujar Khan.
"Dahulu kala, pemakaman di Jepang adalah hal yang biasa. Kami ingin Jepang lebih toleran terhadap agama dan budaya yang berbeda," tambahnya.
Sementara itu, pemerintah setempat mengaku tak memerlukan persetujuan penduduk terkait hal itu.
"Kami tengah memeriksa dokumen dari asoasi tersebut. Kami akan membuat keputusan yang seiring dengan ketetapan pemerintah pusat dan kota,” ujar Walikota Hirofumi Honda.
Setelah perang dulu, hampir separuh dari orang Jepang yang meninggal dikuburkan, berbeda dengan sekarang. Menurut Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan, pada tahun fiskal 2018, 99,97% dari sekitar 1,4 juta orang yang dikremasi, dan dari 472 orang yang dimakamkan, 355 di antaranya adalah janin yang meninggal saat lahir. Bahkan di kalangan umat Katolik di Jepang yang sebelumnya sellau dikuburkan, kini lebih banyak yang dikremasi, membuat umat Muslim di Jepang semakin sulit mendapatkan lahan pemakaman.
Pada tahun 2010 silam, sebuah organisasi keagamaan di Tokyo, Japan Islamic Trust, berencana membangun pemakaman di bagian pegunungan kota Ashikaga di Prefektur Tochigi. Namun, proyek tersebut terpaksa dibatalkan karena tentangan dari warga.
"Kami juga dihujani kata-kata diskriminatif seperti 'Islam itu menakutkan.' Kami tidak berpikir untuk memaksa dan harus menyerah,” ujar sekretaris jenderal organisasi tersebut, Haroon Qureshi yang kini berusia 54 tahun.
Meskipun begitu, tetap ada bantuan lintas agama yang memungkinkan adanya penguburan. Sebuah pemakaman non-religius yang dikelola oleh sebuah kuil di kota Joso di Prefektur Ibaraki menyediakan 500 plot untuk pemakaman Muslim. Kepala kuil memutuskan untuk menerima mereka setelah mengetahui tentang situasi sulit para Muslim.
Sementara itu, menurut organisasi Asosiasi Muslim Jepang yang berbasis di Tokyo, terdapat lebih dari 100.000 Muslim di Jepang pada tahun 2010 yang meningkat menjadi 230.000 orang pada 2019. Populasi ini diperkirakan akan terus bertambah, meski hanya ada sekitar 10 kuburan di Jepang yang menerima penguburan, termasuk yang tidak eksklusif untuk umat Islam. Selain itu, tidak ada tempat pemakaman lain selain di kota Kobe.
Yoko Nagae, seorang profesor sekaligus ahli budaya pemakaman di Universitas Seitoku mengatakan kepada Mainichi Shimbun mengatakan bahwa memang banyak masyarakat Jepang tentang gagasan pemakaman.
“Namun, bagi umat Islam, kuburan adalah tempat yang berfungsi sebagai tempat bagi mereka untuk menunggu sampai akhirnya dibangkitkan kembali. Dalam kasus Prefektur Oita, penyelenggara telah memilih tanah yang tidak menimbulkan masalah kesehatan masyarakat dan terletak di pegunungan di mana penduduk setempat tidak akan terganggu. Karena itu. kita harus memperdalam pemahaman tentang toleransi satu sama lain,” ujarnya.