Sudah sembuh dari COVID-19? Jangan senang dulu, karena ternyata ada after effect alias efek samping. Ya, baru-baru ini, dokter-dokter di Jepang mengingatkan bahwa para pasien virus corona, terutama mereka yang masih muda, menglami efek samping jangka panjang meski telah terbukti negatif COVID-19.
Melansir Mainichi, efek samping yang ditimbulkan beragam, seperti sulit mengecap dan bernafas. Bahkan di beberapa kasus, para pasien ini harus dirawat meski mereka hanya mengalami gejala ringan dari COVID-19.
Kini di Jepang, masih belum banyak institusi medis yang mampu merawat pasien dengan efek jangka panjang ini.
"Mayoritas dari mereka berumur 40 tahunan atau lebih muda. Pemerintah harus menangani masalah ini dengan serius dan menetapkan langkah pencegahan,” ujar salah satu dokter.
Kaai Akimoto (30), pimpinan sebuah perusahaan perawatan misalnya. Ia didiagnosa menderita COVID-19 pada November lalu, dan pengecapannya tetap hilang hingga Januari. Saat berkonsultasi pada dokter THT, hasilnya nihil dan dokter tersebut tak dapat melakukan apapun. Sementara itu, dokter lain memberikan resep obat herbal tradisional “kampo” padanya, sayangnya, hal ini pun nihil. Lebih parahnya lagi, kini ia kesulitan makan karena makanan pedas dan panas kini tercium aneh baginya.
Studi terkait efek samping jangka panjang dari infeksi virus corona ini kini tengah dilakukan oleh berbagai negara seperti Italia dan Amerika Serikat.
Di Jepang sendiri, National Center for Global Health and Medicine membuat sebuah survei via telepon pada tahun lalu dengan sasaran mereka yang telah dipulangkan dari rumah sakit dan mendapatkan 63 partisipan. Survei tersebut membuktikan bahwa beberapa orang terus mengalami kesulitan dalam bernafas, mengecap, dan menderita gangguan penciuman 4 bulan setelah gejala COVID-19 mereka timbul. Ada juga beberapa pasien yang mengalami kerontokan rambut beberapa bulan setelah gejala timbul.
Direktur umum dari Kitasato University Oriental Medicine Research Center, Hiroshi Odaguchi, mengatakan bahwa belum ada perawatan bagi mereka yang mengalami efek jangka panjang dari COVID-19.
"Para dokter juga pasti kebingungan untuk merespon.” ujarnya.
Hirahata Clinic yang memeriksa sekitar 700 pasien di seluruh penjuru Jepang pun mengatakan 95% pasien COVID-19 mengeluh tentang gangguang pengecapan, sementara 80% mengalami penurunan mood dan kemampuan berpikir. Pasien yang mengalami gangguan tersebut mayoritas masih muda, dengan 30% berusia 40 tahunan dan 50% berusia remaja hingga 30 tahun. Pasien wanita pun lebih banyak yang menderita efek ini dibanding pasien pria.
Koichi Hirahata, kepala klinik tersebut, menduga adanya "cytokine storm," sebuah respon autoimun di mana sistem imun seorang pasien menyerang organ yang sehat dan menjadi penyebab efek samping jangka panjang ini.
Menurut Hirahata, sangat penting bagi orang-orang yang baru saja sembuh dari COVID-19 untuk berhenti berolahraga sementara. Menurutnya, berjalan sebentar saja dapat menyebabkan kondisi mereka memburuk.
"Ada kasus di mana seorang pasien harus kembali bed rest setelah berolahraga secara paksa dan akhirnya dipecat dari tempat kerjanya," katanya.
"Saya ingin pemerintah menangani masalah ini dengan sungguh-sungguh dengan mengambil langkah-langkah seperti memberi tahu publik tentang masalah ini sehingga pasien yang menderita efek samping tidak akan mengalami kerugian," tambahnya.