Jepang memiliki sistem pemerintahan demokrasi seperti Amerika Serikat. Hanya saja sistem pemilihan umumnya berbeda. Yuk, kita mengenal sedikit lagi mengenai pemerintahan modern Jepang melalui sistem pemilunya.
Parlemen Jepang
Di Jepang, perwakilan dipilih untuk Parlemen (国会 Kokkai ). Parlemen dibagi menjadi majelis tinggi (参議院 sangi'in) dan majelis rendah (衆議院 shūgi'in). Majelis rendah adalah yang lebih kuat diantara dua majelis tersebut. Jika majelis tinggi menolak sebuah undang-undang yang disahkan oleh majelis rendah, undang-undang tersebut masih bisa menjadi undang-undang jika disahkan oleh majelis rendah dengan dua pertiga suara majelis. Karena Jepang memiliki sistem politik parlementer seperti Inggris, anggota Dewan Perwakilan Rakyat memilih perdana menteri dari antara mereka sendiri dengan suara terbanyak. Perdana menteri biasanya adalah ketua dari partai mayoritas. Perdana menteri merupakan kepala pemerintahan, dan untuk membantu kinerjanya, perdana menteri menyusun kabinet yang beranggotakan sekutu dari politiknya.
Sistem Pemilu di Jepang
Sistem pemilu Jepang sangat berbeda dengan sistem pemilu di Amerika Serikat. Majelis rendah di Jepang terdiri dari 500 anggota, yang dipilih untuk 4 tahun masa jabatan. Tiga ratus anggota berasal dari daerah pemilihan tunggal, yang berarti pemilihan di sebuah distrik diberi satu suara, dan kandidat yang menerima suara terbanyak menjadi satu-satunya wakil distrik tersebut. Namun, 200 anggota majelis rendah Jepang lainnya dipilih oleh perwakilan proporsional. Di bawah sistem perwakilan proporsional, pemilih di wilayah tertentu memilih bukan untuk kandidat individual, tapi untuk sebuah partai. Jumlah kursi parlemen yang diterima oleh partai didasarkan pada persentase suara yang diterima. Masing-masing pihak memberikan tempat duduknya kepada kandidat terbaiknya, yang berada di peringkat tertinggi sampai yang terendah sebelum pemilihan. Jadi, misalnya, di sebuah distrik ada 20 kursi tersedia, jika sebuah partai yang menjalankan 25 kandidat mendapat 50 persen suara, maka partai tersebut mendapatkan 10 kursi yang lalu diberikan kepada 10 kandidat teratas dalam daftarnya.
Majelis tinggi Jepang memiliki 252 anggota yang bertugas selama 6 tahun masa jabatan. Pemilu diadakan setiap tiga tahun sekali untuk setengah dari semua kursi majelis tinggi . Jadi misalnya, pada tahun 1998 diadakan pemilihan untuk mengisi 126 kursi majelis tinggi yang kemudian pada tahun 2001 diadakan lagi pemilu untuk mengisi 126 kursi sisanya. Dalam semua pemilu majelis tinggi (126 kursi setiap pemilihannya), 24 politisi dipilih dari daerah pemilihan kursi tunggal, 52 dipilih dari daerah pemilihan multi-kursi, dan 50 dipilih oleh perwakilan proporsional. Dalam sebuah konstituensi multi kursi, ada 3-5 perwakilan di setiap distrik (berlawanan dengan di Amerika Serikat). Setiap pemilih hanya memiliki satu suara. Misalkan sebuah distrik memiliki kandidat A, B, C, D, dan E, pemenang adalah mereka yang mendapatkan suara tertinggi, dan apabila di distrik tersebut hanya dipilih untuk 3 kursi, maka 3 kandidat yang memiliki suara tertinggilah yang memenangkan kursi.
Cara pencoblosan di Jepang
Di Jepang, pencoblosan nama kandidat di pemilu dilakukan dengan menulis nama atau partai calon di kertas suara. Untuk pemilihan anggota majelis rendah, para pemilih mengisi dua kertas suara: satu dengan nama kandidat distrik yang dipilih, dan satu dengan nama partai di blok perwakilan proporsional. Untuk pemilihan majelis tinggi, cara pemilihan calon distrik dilakukan dengan cara yang sama (untuk distrik dengan beberapa kursi, beberapa kandidat bisa dipilih, namun pemilih hanya punya satu hak suara). Sementara itu, untuk pemilu proporsional majelis tinggi, suara diberikan pada daftar partai (untuk menentukan berapa banyak kursi proporsional yang didapatkan sebuah partai) atau seorang kandidat (yang mempengaruhi kandidat mana yang akan dipilih dari daftar partai).
Suara yang ambigu atau tidak bisa ditentukan dimaksudkan untuk memilih salah satu calon tidaklah dianggap tidak sah, melainkan dibagikan kepada calon-calon yang kemungkinan dimaksud oleh surat-surat suara tersebut, secara proporsional berbanding dengan jumlah suara tidak ambigu yang sudah diterima oleh kandidat-kandidat tersebut. Suara ini disebut pecahan suara proporsional (按分票, ambunhyō) dan dibulatkan hingga 3 angka di belakang koma.
Contohnya, jika “Yamada A” dan “Yamada B” berada dalam satu pemilu yang sama, dan terdapat 1500 suara yang tidak ambigu: 1000 untuk "Yamada A" dan 500 untuk "Yamada B"; 5 buah suara ambigu untuk nama “Yamada” lalu dihitung sebagai 5x1000/1500=3,333 suara, sedangkan untuk Yamada B dihitung sebagai 5x500/1500= 1,667 suara.
Di tahun 2002, disahkannya undang-undang voting elektronik memungkinkan diperkenalkannya mesin voting elektronik di pemilu local. Pemilihan pertama yang menggunakan mesin seperti ini tercatat dilakukan pertama kali di Niimi, Okayama pada bulan Juni 2002. Pada tahun 2003, system untuk melakukan voting lebih awal, kijitsu-mae tōhyō seido (期日前投票制度) diperkenalkan di Jepang, dan pada pemilu tahun 2009 di Jepang mencatat rekor di mana lebih dari 10 juta orang Jepang memberikan suaranya lebih awal.