Berita Jepang | Japanesestation.com

Sebagian orang akan berpendapat bahwa pekerjaan adalah suatu keharusan, dan inilah yang juga terjadi di Jepang. Di Jepang, terdapat sebuah istilah Moretsu Shain [モーレツ社員] atau karyawan Moretsu. Karyawan Moretsu merupakan istilah yang populer pasca perang yang diberikan bagi karyawan perusahaan yang berdedikasi tinggi terhadap perusahaan atau sederhananya ‘karyawan pekerja keras’. 

Karyawan Moretsu memiliki konotasi yang negatif, yaitu karyawan yang lebih sering dianggap sebagai budak perusahaan. Alasan utamanya adalah karena mereka terlalu mengabdikan diri kepada perusahaan dan hampir tidak memperdulikan kehidupan pribadi mereka. Namun dari segi budaya Jepang, hal tersebut merupakan seni dari sebuah pekerjaan yang ideal. Dimana mereka akan mengerahkan segenap hati mereka untuk pelanggan dan perusahaan mereka. Oleh karena itu karyawan Moretsu kemudian disorot sebagai salah satu simbol yang mendukung pertumbuhan ekonomi Jepang.

Namun jika dilihat lebih lanjut, kenapa sebenarnya seseorang harus bekerja? Apa tujuannya?

Karyawan Jepang
Karyawan baru menuju ke perusahaan mereka di distrik Marunouchi Tokyo (japantimes.co.jp)

Berdasarkan hasil dari wawancara yang dilakukan oleh The Asahi Shimbun pada tahun 1974, ketika para pekerja ditanya tentang pandangan mereka terhadap sebuah pekerjaan, 53% dari responden menjawab bahwa 'pekerjaan adalah hal yang harus dilakukan', dan 30% lainnya menjawab bahwa 'pekerjaan adalah hal yang tidak bisa dihindari'.

Pandangan tentang pekerjaan ini berubah seiring perkembangan zaman. Melihat dari hasil survei sebelumnya. Setelah 30 tahun berlalu, masih dalam fokus yang sama, hanya sebesar 20% orang dalam usia 20-an hingga 40-an memilih pekerjaan sebagai ‘tujuan hidup', 75% melihat pekerjaan sebagai hal yang ‘dilakukan untuk hidup’, dan 37% lainnya dari responden berusia 60-an atau lebih merupakan kelompok “Ikigai” atau kelompok yang melakukan pekerjaan karena mendapat sebuah kepuasan atau nilai hidup.

Melihat situasi tersebut, dapat dilihat bahwa generasi saat ini melihat pekerjaan tidak lagi sebagai pusat gravitasi dalam kehidupan. Masyarakat mulai kritis menanggapi hal terkait pekerjaan. Mereka kini lebih dapat melihat pekerjaan sebagai suatu hal yang tidak hanya dilakukan karena suatu keharusan yang tidak dapat dihindari. Mungkin hal ini juga yang menyebabkan jumlah karyawan Moretsu berkurang di Jepang.

Selain karena hal tersebut, alasan lain dibalik menurunnya jumlah karyawan Moretsu adalah karena mereka menyadari bahwa usaha keras mereka tidak akan selalu dihargai. Hal ini sesuai dengan hasil survei tahun 2006 mengenai penghargaan atas usaha keras. Dari hasil survei tersebut didapat 48% diantaranya menjawab ‘tidak diberi penghargaan’ dan 41% lainnya menjawab ‘diberi penghargaan’.

Pertanyaan yang sama juga dilakukan pada survei tahun 2013. Hasilnya, pada karyawan berusia 20-an, 32% diantaranya menjawab ‘diberi penghargaan’ dan 60% lainnya menjawab ‘tidak diberi penghargaan’. Sedangkan pada karyawan usia 30-an, 37% diantaranya menjawab ‘diberi penghargaan’ dan 54% lainnya menjawab ‘tidak diberi penghargaan’.

Dari hasil tersebut, kini kita tahu alasan dibalik jumlah karyawan Moretsu yang semakin menurun. Mengingat bahwa kaum muda kini mulai mementingkan pencapaian, serta keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka. Jadi, tak heran apabila konsep bekerja untuk mengabdi kepada perusaahaan atau konsep akan karyawan Moretsu mulai tak lagi populer di Jepang.