Dunia belum melupakan hari itu: Jumat siang, 11 Maret 2011, gempa dahsyat dengan kekuatan 9 skala Richter mengguncang Jepang. Lindu memicu tsunami yang menggulung bangunan, manusia, apapun yang ada di wilayah pesisir timur laut. Negeri Sakura yang tersohor paling siap menghadapi bencana gempa, porak poranda.
Kini 3 tahun berlalu, warga Tokyo harus terus ingat dan bersiap menghadapi ancaman gempa besar. Tokyo Earthquake Research Institute mengeluarkan hasil studi yang mengkhawatirkan, bahwa gempa 11 Maret 2011 telah menyebabkan tekanan besar pada pertemuan lempeng tektonik yang berada di bawah Tokyo. Tekanan ini secara signifikan meningkatkan kemungkinan bergeraknya lempengen-lempengan itu secara simultan pada dua titik atau lebih. Lembaga penelitian tersebut memperkirakan, hal tersebut bisa memicu gempa berkekuatan 7,3 di skala Richter. Meski kekuatannya jauh lebih kecil, namun dampaknya bisa luar biasa di kawasan padat penduduk. "Kami perkirakan sekitar 10 ribu orang akan tewas, dan kerugian ekonominya bisa mencapai 1 triliun dollar", ungkap Naoshi Hirata seperti Liputan6.com kutip dari situs Deutsche Welle (DW). Benarkah gempa besar akan mengguncang Tokyo? Kekhawatiran itu ternyata berdasar. Seperti dikutip dari situs sains NewScientist, sejumlah gempa kecil menjadi lebih sering menggetarkan Tokyo selama beberapa tahun belakangan, memicu akumulasi tekanan tektonik. Dampak Gempa Tohoku 2011 lalu, juga menambah potensi terjadinya gempa besar di ibukota Jepang itu. Namun, para seismolog tak bisa memprediksi kapan lindu akan terjadi, atau sistem sesar mana yang akan pecah. Shinzaburo Ozawa dari Geospatial Information Authority of Japan di Tsukuba, menggunakan sensor GPS untuk melacak pergerakan permukaan tanah di Semenanjung Boso, sisi timur Teluk Tokyo. Antara 28 Desember 2013 dan 10 Januari 2014, ia mendeteksi pergeseran dalam skala cm yang diakibatkan dua lempeng tektonik yang berada beberapa km di bawah permukaan tergelincir sekitar 10 centimeter. Pergerakan itu melepaskan energi setara gempa berkekuatan 6,5 SR -- namun tak menyebabkan kerusakan, karena energi itu tersebar dalam waktu lebih dari 2 minggu. Tak sekali guncang. Seismograf juga tak merekam pergeseran seperti itu. Bahkan tak bakal terpantau seandainya tidak menggunakan GPS. Demikian menurut Heidi Houston, ilmuwan dari University of Washington, Seattle, yang tak terlibat dengan penelitian. Dikhawatirkan, gempa-gempa dengan pergeseran lambat menjadi makin sering, tanda peningkatan tekanan tektonik di wilayah tersebut. Penelitian Ozawa menambah bukti bahwa gempa besar mungkin sedang dalam perjalanan menuju Tokyo. Setelah gempa Tohoku 2011, kegempaan di wilayah Tokyo awalnya melonjak sepuluh kali lipat, lalu stabil pada level tiga kali lipat dari perkiraan awal. Berdasarkan kenaikan itu, sebuah studi tahun lalu memperkirakan ada probabilitas 17 persen untuk terjadinya kejutan dari bawah tanah Tokyo antara Maret 2013 dan Maret 2018. Atau 2,5 kali lebih tinggi daripada jika gempa Tohoku tidak terjadi. Empat lempeng tektonik bertemu di wilayah Tokyo, dampaknya, telah terjadi gempa berkekuatan di atas 7 skala Richter dalam 4 abad terakhir. Yang terbesar dalam 1.000 tahun terakhir adalah gempa Genroku, diperkirakan berkekuatan 8,2 SR. Yang menewaskan 2.300 orang pada 31 Desember 1703, dan menghasilkan tsunami yang menewaskan beberapa ribu orang lainnya. Namun, yang paling mematikan adalah Gempa Kanto dengan kekuatan 7,9 SR pada 1 September 1923, menewaskan 100.000 orang -- terjangan topan ikut andil menambah jumlah korban. Maka dari itulah, sejak 1 September 1960, dicanangkan sebagai Pencegahan Hari Bencana di Jepang. Pencegahan Meski 'langganan bencana', Jepang tetap punya kesiapan tinggi. Negeri Sakura punya sistem peringatan dini paling baik di dunia. Selain itu, pemerintahan yang baik dan penegakan hukum juga jadi faktor krusial yang menyelamatkan jiwa masyarakat Jepang. Kemungkinan gedung sekolah atau rumah sakit rubuh saat gempa pun kecil. Sebab, fasilitas publik dibangun tanpa ulah nakal, dan korupsi para penyelenggara negaranya. Kekayaan Jepang sebagian diinvestasikan untuk membangun gedung dan infrastruktur tahan gempa. Menurut ahli, kebijakan ini terbukti telah menyelamatkan ribuan jiwa. Persiapan juga dilakukan jelang Olimpiade 2020 di Tokyo. "Ada begitu banyak tantangan (menjelang 2020), tapi prioritas tertinggi kami adalah kemungkinan bencana," kata Gubernur Tokyo, Yochi Masuzoe, seperti dikutip dari situs Next City. "Kami sudah memulainya sejak lama, sehingga memiliki pencegahan dan mitigasi bencana yang sempurna," tambah dia.