Bulan lalu, Jepang diguncang oleh skandal menteri Olimpiade mereka, Yoshitaka Sakurada, yang memiliki keberanian untuk datang tidak tepat waktu, ia terlambat tiga menit ke pertemuan parlemen. Publik menjadi marah dan oposisi menggelar protes selama lima jam sebagai tanggapan atas keterlambatan Sakurada. Beberapa hari kemudian, ia dipaksa meminta maaf.
Di Jepang, budaya tepat waktu bukan hanya untuk tokoh masyarakat terkenal, tetapi juga untuk seluruh masyarakat. Pada tahun 2018, sebuah kereta JR-West Railway berangkat terlalu cepat 25 detik, memicu banyak kritik publik dan permintaan maaf dari perusahaan kereta tersebut. Insiden ini dibahas secara luas di Jepang, dan ditangani sebagai kesalahan besar atas nama JR-West Railway.
Sejak usia muda, orang Jepang diajari pentingnya tepat waktu. "Orang tua saya selalu mengatakan kepada saya bahwa penting untuk tidak terlambat, memikirkan orang-orang yang akan saya buat tidak nyaman jika saya terlambat." kata Issei Izawa, mahasiswa berusia 19 tahun.
“Saya lebih memilih untuk datang lebih awal, karena lebih baik saya yang menunggu daripada membuat seseorang menunggu saya.” katanya, seraya menambahkan bahwa dia tidak akan lagi berteman dengan seseorang yang datang terlambat dan membuat orang lain merasa tidak nyaman.
Obsesi orang Jepang untuk tepat waktu sering dilihat oleh turis dengan sedikit rasa geli. Namun sebenarnya, keterlambatan di tempat kerja dapat berdampak nyata terhadap perekonomian, baik negara maupun perusahaan.
Tetapi, orang Jepang tidak begitu kaku dengan waktu sampai akhir 1800-an. Orang-orang Jepang pra-industri memiliki sikap yang jauh lebih santai. Willem Huyssen van Kattendijke, seorang perwira angkatan laut Belanda yang datang ke Jepang pada tahun 1850-an, menulis dalam buku hariannya bahwa penduduk setempat tidak pernah tepat waktu. “Kemalasan orang Jepang cukup mencengangkan,” ujarnya. Pada saat itu, kereta sering terlambat 20 menit dari jadwal.
Selama Restorasi Meiji (1868-1912), di mana Kaisar Meiji menghapus sistem feodal dan menerapkan reformasi militer dan industrialisasi yang penting, ketepatan waktu menjadi norma budaya. Hal ini dijelaskan dalam sebuah makalah tahun 2008 di jurnal East Asian Science, Technology and Society yang diterbitkan oleh Universitas Duke.
Sekolah, pabrik, dan kereta api, di mana ketepatan waktu diberlakukan dengan ketat, adalah institusi utama yang mempelopori perubahan sosial ini. Sekitar waktu itu, jam tangan menjadi barang yang populer, dan konsep waktu 24 jam menjadi akrab bagi warga biasa. Menurut peneliti waktu Ichiro Oda, pada saat itulah orang Jepang menyadari bahwa "waktu adalah uang".
Pada 1920-an, ketepatan waktu diabadikan dalam propaganda negara. Poster gaya hidup ditempel di berbagai sudut dengan tampilan mencolok, menampilkan panduan bagi wanita untuk membuat gaya rambut standar dalam lima menit hingga 55 menit untuk gaya rambut acara formal.
Sejak itu, ketepatan waktu dikaitkan dengan produktivitas di perusahaan dan organisasi, kata Makoto Watanabe, profesor komunikasi dan media di Universitas Bunkyo Hokkaido. “Jika pekerja terlambat, perusahaan dan kelompok akan dirugikan,” ujarnya. Maksudnya, jika kamu tidak tepat waktu, kamu tidak bisa menyelesaikan semua hal yang perlu kamu lakukan.
"Penting bagi pekerja perusahaan untuk menampilkan diri mereka sebagai orang yang disiplin dan tepat waktu," kata Mieko Nakabayashi, seorang profesor ilmu sosial di Universitas Waseda dan mantan anggota parlemen di Partai Demokrat Jepang. “Jika anda tidak bisa melakukan itu, maka anda akan segera mendapatkan reputasi buruk di dalam perusahaan."
Namun, seperti yang dia jelaskan, ketepatan waktu tidak selalu efisiensi. Pada tahun 1990, sebuah tragedi melanda prefektur Hyogo ketika seorang siswa berusia 15 tahun tertimpa gerbang sekolah menengahnya hingga tewas ketika dia mencoba untuk menyelinap melalui gerbang tersebut tepat ketika gerbang sekolah mulai ditutup pada pukul 8.30 pagi.
Guru yang menekan tombol tutup gerbang dipecat, dan kejadian itu memicu banyak debat publik. “Dulu, sangat umum untuk menutup gerbang tepat waktu, dan menghukum siswa yang terlambat dengan membuat mereka berlari satu atau dua putaran,” kata Yukio Kodata, 33, seorang pria Jepang-Kanada yang telah tinggal dan bekerja di Jepang. Catatan terlambat pada transkrip siswa juga dapat memengaruhi peluang mereka untuk masuk universitas.
Ketepatan waktu juga tidak menggantikan tingkat inefisiensi yang tinggi di perusahaan dan organisasi Jepang. “Rapat berlangsung terlalu lama, padahal kebanyakan orang sebenarnya tidak menyumbangkan apa pun yang berguna dalam rapat. Dan berada di meja tepat pada jam 9 pagi tidak membuat perbedaan nyata.” kata Mieko dari Universitas Waseda.
Sumber: South China Morning Post, Institute of Advanced Studies of the University of Sao Paulo