Pemerintah Jepang kini sedang sibuk menyusun rencana pembangunan tembok laut sepanjang 402 kilometer untuk menangkal bahaya tsunami. Namun, rencana ini dikritik oleh beberapa pihak. Seperti dilansir Sputnik, Selasa (24/3), pemerintah ingin mencegah tsunami kembali menghantam Jepang seperti pada 2011 silam. Gempa berkekuatan 9 Skala Richter itu merusak bagian wilayah utara Jepang dan menghancurkan tiga dari enam reaktor tenaga nuklir di Fukushima Daiichi. Reuters mencatat sekitar 20 ribu orang tewas atau hilang. Menurut pemerintah, hal tersebut terjadi karena warga mengacuhkan peringatan awal untuk meninggalkan lokasi dataran rendah. Guna menghindari jatuhnya korban jika ada tsunami di masa mendatang, pemerintah berencana membangun tembok laut sepanjang 420 kilometer dengan total biaya US$ 6,8 miliar atau setara Rp 113,6 triliun. Rencana ini menuai kritik dari berbagai pihak yang mengatakan bahwa konstruksi tersebut dapat merusak kehidupan laut. Selain itu, tembok laut ini juga tidak dapat melindungi warga yang memang seharusnya pindah ke tempat lebih tinggi. Beberapa pihak mengambil contoh tembok setinggi 7,3 meter yang dibangun di Kota Iwanumalguchi. Tembok tersebut memang berhasil menahan sedikit air, tapi tidak dapat membendung keseluruhan arus tersebut. Tsunami tetap saja menyapu Iwanumalguchi. Seorang pejabat kota, Mayor Tsuneaki Iguchi, mengaku tidak akan meninggikan tembok tersebut. "Kami tidak butuh peninggian tembok itu. Yang kami butuhkan adalah semua orang dievakuasi," katanya. Menegaskan maksudnya, Tsuneaki berkata, "Hal teraman adalah orang hidup di dataran yang lebih tinggi dan rumah serta tempat kerja mereka di lokasi yang berbeda. Jika kami melakukan itu, kami tidak perlu memiliki Tembok Besar."