Ada gagasan yang muncul ketika periode Meiji (1868-1912), ketika Jepang dipaksa mendefinisikan ulang dirinya sendiri dalam hubungannya dengan Barat. Para pemikir Jepang peka terhadap bagaimana Barat memandang mereka dan mereka tidak menolaknya jika itu cocok dengan mereka.
Gagasan itu menyebutkan bahwa orang Jepang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan alam, dan tidak seperti orang Barat yang menurut pemikir Jepang tidak terlalu terikat dengan alam. Hal ini sudah tertanam dalam diri orang Jepang bagaimana mereka memandang diri sendiri. Orang Jepang menjadi identik dengan kecintaan terhadap alam.
“Alam” adalah hasil dari konstruksi sosial; bagaimana kita memandang alam tidaklah tetap, selalu berubah tergantung dari tempat kita tinggal. Di Jepang, alam seperti terbagi ke dalam dua kubu, alam ‘mentah’ dan alam yang ‘sudah matang’.
Apa itu alam yang ‘sudah matang’? Maksud dari alam yang ‘sudah matang’ disini adalah alam yang sudah dimodifikasi untuk kepentingan manusia. Alam yang sudah dimodifikasi ini lebih dihargai dan diapresiasi di Jepang.
Hasil dari seni estetika tradisional seperti bonsai dan ikebana termasuk ke dalam jenis alam ini. Pohon dan bunga tetap menjadi bagian dari alam meski sudah mengalami modifikasi oleh manusia untuk menonjolkan lengkungan-lengkungan dan ‘kesederhanaan’ yang melekat pada bonsai dan ikebana.
Kecintaan pada alam yang sudah ‘matang’ ini bermula di zaman Edo (1603-1868), ketika para penguasa dan bangsawan mereka ulang tempat-tempat indah dari provinsi asal mereka di taman rumah mewah mereka di Tokyo. Ini mencerminkan bagaimana pemilik taman itu memahami dunia, dengan mengubah alam ‘liar’ menjadi bentuk yang idealkan dan menjadi simbol tempat lain.
Di Jepang, alam masih sering dianggap tidak memiliki fungsi jika belum disentuh oleh tangan manusia. Berbeda dengan orang Barat yang berpegang pada konsep romantisme dan menganggap alam yang ‘mentah’ sebagai tempat berlindung dari kesombongan manusia. Sedangkan di Jepang, menyebut suatu tempat sebagai alam liar atau hutan belantara bukanlah sebuah pujian.
Selalu ada tujuan untuk kepentingan manusia bagi Jepang memperbaiki alam. Hampir 30.000 sungai di Jepang sudah dibendung, tepian dan dasar sungai juga sudah dibeton. Sebanyak 30% garis pantai Jepang sudah dilapisi dengan balok beton atau tetrapod. Menggunakan beton sudah seperti menjadi kebiasaan Jepang sejak bubble economy di awal tahun 90an.
Penguasa di Jepang seperti ingin menertibkan semua yang bersifat ‘liar’. Mulai dari anak-anak, para pekerja, dan juga alam. Satu generasi yang lalu, pemerintah mendorong pemilik tanah di pegunungan untuk menebang hutan asli dan menggantinya dengan sugi (杉 pohon cedar Jepang) sehingga semuanya tampak seragam. Karena monokultur ini, setiap musim semi pohon cedar mengeluarkan serbuk sari dengan jumlah yang luar biasa dan membuat seluruh negeri bersin-bersin atau yang biasa dikenal dengan alergi musim semi.
Jika tinggal di Tokyo, kamu mungkin bisa menghabiskan hari tanpa melihat binatang ataupun tanaman liar. Kata-kata “terhubung dengan alam” seringkali hanya berarti ketika kamu mendaur ulang sampah botol plastikmu.
Dibanding dengan memperhatikan lingkungan, orang Jepang lebih suka dengan ritual pergantian musim, dan memiliki kepuasan tersendiri ketika mereka memiliki miniatur kecil yang mereka ciptakan di kebun mereka.