Bagi orang Jepang, Kabuki mungkin memiliki arti seperti teater Shakespeare bagi orang Inggris atau opera tradisional bagi orang Italia. Kabuki merupakan teater tradisional Jepang, menggabungkan unsur tari, pantomim, musik, dan drama. Pelaku sering memakai kostum dan make-up berlebihan untuk menegaskan karakter mereka. Riasan antara lain menggunakan tepung beras untuk menciptakan efek porselen pada kulit. Sekitar tahun 1603, seorang gadis kuil muda bernama Okuni mulai mementaskan tarian di luar Kyoto, ibukota kuno Jepang. Pertunjukan ini menjadi begitu terkenal sehingga sejumlah penari dan musisi lain membentuk grup kabuki mereka sendiri. Namun, karena para pementasan terutama diperuntukkan bagi masyarakat kelas bawah, teater kabuki tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat kelas atas. Lebih parah, beberapa pemain kabuki perempuan menjadi populer untuk lagu mesum dan tarian provokatif mereka. Prostitusi juga menjadi praktik umum mengikuti pementasan kubuki. Akibatnya, pemerintah akhirnya melarang perempuan terlibat dalam pementasan kabuki. Sama seperti pementasan teater Shakespeare, tokoh perempuan dalam kabuki diperankan oleh aktor laki-laki yang disebut onnagata. Seiring dengan waktu, pertunjukan teater kabuki semakin berkualitas. Penekanan bergeser dari tema tarian asli menjadi drama dan komedi berdasarkan tema kontemporer seperti pengkhianatan atau intrik politik. Aktor kabuki umumnya juga mempelajari gerakan dan dialog dari teater boneka populer yang disebut bunraku. Seiring apresiasi dari pemerintah dan kalangan kelas atas yang semakin meningkat, teater kabuki menjadi semakin populer di Jepang. Selama Perang Dunia II, komunitas teater kabuki menderita kerugian yang luar biasa. Butuh waktu beberapa dekade untuk memulihkan dan melatih jumlah aktor yang memadai untuk menggantikan mereka yang menjadi korban perang. Saat ini, teater kabuki masih cukup populer di kalangan masyarakat Jepang. Kabuki antara lain dimainkan untuk kepentingan pariwisata sebagai bukti pencapaian budaya tradisional Jepang.