Di Jepang, sumpit merupakan alat makan tradisional. Namun bagi orang yang tak terbiasa, memakai sumpit yang benar untuk makan terasa sulit. Apa lagi bagi mereka yang memiliki tangan tak sempurna.
Seperti penggunaan garpu dan pisau di Barat, pemakaian sumpit di Jepang juga memiliki etiket tersendiri. Di antaranya memberikan makanan ke orang lain menggunakan ujung sumpit yang lebih besar, sumpit tak boleh diletakkan tegak lurus di semangkuk nasi, serta makanan tak boleh ditusuk dengan sumpit. "Setiap hal memiliki cara penggunaan yang benar. Salah memegang sumpit memang tak membuat Anda diusir dari restoran, tapi seseorang, biasanya pelayan, akan menertawakan Anda. Tentu saja, penyandang cacat merasa sangat kesulitan mengikuti etiket ini," kata Michael Peckitt. Peckitt berkebangsaan Inggris namun telah tinggal di Jepang selama dua tahun. Ia mengidap cerebral palsy dan tangannya agak gemetar. Ia yakin, memegang sumpit dengan tidak wajar akan dilihat sebagai penyimpangan sosial. Chris Perkins, dosen Sastra Jepang di University of Edinburgh Inggris, membenarkan bahwa sumpit adalah komponen yang tak terpisahkan dari identitas Jepang. "Sangat aneh rasanya melihat orang Jepang di restoran bersantap dengan sendok atau garpu." Katsuyuki Miyabi, seorang pengrajin dari Prefektur Fukui Jepang, menawarkan solusi untuk mengatasi masalah ini. Ia membuat sumpit dengan per di salah satu ujungnya, sehingga tak perlu kekuatan dan keterampilan tinggi untuk memakainya. Menurut BBC, sumpit kayu ini jadi bekerja seperti capit atau tang. Beri tekanan untuk menjepit makanan, dan saat tekanan dikendurkan, sumpit akan membuka kembali. Miyabi merancang setiap sumpit sesuai kebutuhan si pemesan. Misalnya, desain sumpit untuk orang yang kehilangan jempolnya akan berbeda dengan orang yang mengalami lumpuh. Untuk itu, Miyabi menemui kliennya langsung. Pertama, mereka memilih model sumpit. Kemudian, Miyabi membentuk sumpit sesuai bentuk dan ukuran tangan serta faktor-faktor lain seperti kekuatan tangan klien. Menurut blog Spoon & Tamago, Miyabi tak hanya bertemu kliennya untuk mengukur. Ia juga berusaha memahami bagaimana ketidakmampuan klien memengaruhi kehidupan mereka sehari-hari.