Sebuah kalender menunjukkan bulan Maret 2011 masih menggantung di dinding, sementara jam tergantung di langit-langit tetap menunjukkan waktu pada pukul 2:50. Berbagai dokumen dan file lainnya tersebar di lantai, di sekitar meja dan rak buku. Tanaman-tanaman dalam pot menjadi layu dan telah lama mati.
Di luar, di atap kantor kota Futaba, Jepang, seseorang dapat dengan jelas melihat isolasi dan kehancuran dari kota yang sekarat ini di mana waktu telah berhenti. Untuk pertama kalinya sejak Maret 2011 setelah insiden di pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima No. 1, seorang wartawan Asahi Shimbun memasuki kantor kota Futaba pada tanggal 25 Februari yang lalu. Seluruh 6.400 warganya telah meninggalkan kota ini.
Sebuah pemberitahuan ditempelkan di bagian dalam pintu depan, digarisbawahi dengan warna merah, dan berisi: "Karena kantor ini terletak 10 kilometer dari PLTN, kalian harus tinggal di dalam ruangan. Tolong jangan pergi ke luar." Di lantai dua, lembaran kertas ditempelkan pada papan menunjukkan informasi bahwa Tokyo Electric Power Co. telah merilis tentang berbagai kondisi di pabrik nuklir setempat. "Tekanan dalam tempat penahanan telah meningkat secara tidak normal," ujar informasi yang tiba sebelum fajar pada tanggal 12 Maret 2011.
Para pejabat Futaba mengevakuasi kantor kota atas perintah pemerintah pusat hari itu, sehari setelah bencana dimulai di pabrik nuklir Fukushima No. 1. Sekitar 96 persen dari Futaba, termasuk berbagai area di sekitar kantor kota, telah ditetapkan sebagai zona sulit-untuk-kembali karena akumulasi tingkat radiasi tahunan melebihi 50 millisieverts. Zona ini dikelilingi oleh berbagai barikade, sehingga mustahil bagi orang-orang untuk masuk secara bebas. Orang-orang yang masuk harus mengenakan masker dan alat pelindung yang menutupi seluruh tubuh dan membawa dosimeter setelah mendapat izin dari kantor kota.
Truk-truk untuk pekerjaan dekontaminasi, mobil-mobil penumpang dan suara burung gagak terkadang memecah kesunyian. Sebuah rumah yang roboh karena gempa Great East Japan Earthquake menutupi sebagian jalan. Kuil Shohatsujinja di seberang rumah tersebut berada dalam keadaan miring, dan sebuah monumen batu setinggi 3 meter tetap tumbang dan terjepit di tengah-tengahnya.
"Teman sekelas saya adalah kepala kuil ini. Saya menggelar festival (tradisional) 'Shichigosan' untuk putri saya di kuil ini. Saya juga mengadakan ritual pemurnian untuk mobil saya di sini," kata seorang pemandu bernama Kunihiro Hiraiwa, 52 tahun, yang merupakan kepala bagian humas kantor kota tersebut. Ketika gempa bumi berkekuatan 9,0 terjadi pada tanggal 11 Maret 2011, Hiraiwa memimpin sebuah tim yang bertanggung jawab atas masalah yang berkaitan dengan pembangkit listrik tenaga nuklir. Tugasnya termasuk mengajukan bantuan dari pemerintah pusat untuk pembangkit listrik tenaga nuklir kota tersebut. Ia juga adalah orang yang menerima informasi dari TEPCO ketika masalah terjadi di pembangkit tersebut. "Kata TEPCO, 'PLTN tersebut benar-benar aman.' Kami tidak pernah membayangkan bahwa situasi bencana seperti ini akan muncul," kata Hiraiwa, sambil melihat jalanan yang kosong. Kolam pantai Futaba pernah penuh sesak dengan sekitar 85.000 orang pada tahun 2010. Fasilitas pantai yang dioperasikan oleh kantor kota tersebut rusak oleh bencana tsunami tahun 2011. Dari lantai yang lebih tinggi di fasilitas itu, kita bisa melihat Samudera Pasifik meluas ke cakrawala dan gelombang lembut yang menerpa pantai. Tingkat radiasi relatif rendah di bagian timur laut dari Futaba, dan daerah ini ditetapkan sebagai zona yang sedang dipersiapkan untuk pencabutan perintah evakuasi Mei 2013. Namun, jika mengintip dari barikadenya, perbaikan infrastruktur dan pekerjaan dekontaminasi belum membuat kemajuan. Rumah Hiraiwa terletak di daerah tersebut. "Tidak ada yang berubah (sejak Mei 2013)," katanya.