Berita Jepang | Japanesestation.com

Jepang terkenal sebagai negara kepulauan yang homogen; tidak banyak keragaman suku dan budaya yang bisa kita temukan seperti di Indonesia. Maka, hal itu membuat kultur 'berbaur' menjadi sangat penting dalam negara mereka.

Kisah ini dibawakan oleh Louise George Kittaka, ketika ia membawakan sebuah kelas di salah satu universitas khusus wanita di Tokyo. Ketika memasuki ruang kuliah, ia melihat para wanita menggunakan pakaian yang seragam. Bukan hanya pakaian, gaya rambut mereka pun seragam. Mereka menggunakan blouse putih, blazer warna hitam, rambut yang diikat satu dengan rendah, dan make up sederhana.

Louise bertanya kepada salah seorang mahasiswa, dan ia mendapat jawaban yang sangat menyayat hatinya, bahwa setelah ini, mereka akan mengikuti mata kuliah career guidance atau panduan karir. Dosen mereka lah yang menyuruh mereka untuk berpakaian seperti ini.

Mengapa mereka harus berpakaian seragam seperti itu?

Seragam dan keseragaman di dunia kerja Jepang

Seragam Kerja Wanita Jepang

Seragam Kerja Wanita Jepang (savvytokyo.com)

Rupanya, ada ketakutan dalam diri perempuan Jepang, bahwa jika mereka tidak seragam dan bisa 'berbaur' dengan fesyen yang semestinya, perusahaan tidak akan menerima mereka. Ditambah lagi, Jepang memang terkenal dengan kultur yang mementingkan kerapihan dan keseragaman, apalagi jika membicarakan soal dunia kerja.

Inilah yang disebut oleh Louise sebagai one-size-fits-all, ketika perempuan Jepang diekspektasikan untuk cocok dengan satu gaya saja, dan cenderung lebih disukai bila mereka tidak mencolok.

Percakapan Louise dengan mahasiswa-mahasiswanya pun berlanjut. Ia bertanya pendapat mereka mengenai kasus ini, dan mereka berujar bahwa "jika saya berpakaian 'berbeda' dibanding yang lain, saya takut perusahaan tidak menganggap saya serius." Ujaran itu kemudian disetujui oleh mahasiswa yang lain, dan ditambahkan "kurasa perusahaan Jepang tidak peduli akan kepribadian kita, yang mereka pedulikan adalah bagaimana kita bisa 'berbaur' satu sama lain," tambahnya.

Bagaimana dengan karyawan laki=laki?

Sementara mereka  juga diharapkan untuk mematuhi yang definisi sempit tentang pakaian yang 'cocok' hanya saat mencari pekerjaan di awal, bagi perempuan Jepang, setelah masuk dunia kerja, mereka masih harus terus tunduk pada peraturan khusus gender bahkan setelah mendapatkan pekerjaan dan memasuki dunia kerja.

Bangkitnya tagar #KuToo

Tidak hanya pakaian, tekanan lain yang harus dirasakan oleh perempuan Jepang terkait dunia kerja juga dirasakan dari sepatu yang mereka gunakan. Namun, sekarang, beberapa wanita mulai menggunakan media sosial sebagai platform untuk berbicara tentang beban tidak adil yang dirasakan oleh wanita di Jepang.

Pada Januari tahun lalu, Yumi Ishikawa terbuka di Twitter ketika ia dipaksa memakai sepatu hak setinggi lima sampai tujuh sentimeter dalam pekerjaannya di rumah duka. Ishikawa, yang juga bekerja sebagai aktris dan penulis, meluncurkan tagar #KuToo, permainan kata-kata berdasarkan bahasa Jepang untuk 'shoe' (kutsu) dan 'pain' (kutsuu).

Yuk, klik halaman selanjutnya untuk membaca kelanjutan dari hasil movement tagar #KuToo!