Berita Jepang | Japanesestation.com

Tragedi jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ182 pada 9 Januari 2021 lalu menambah satu lagi daftar kecelakaan pesawat terbang di dunia. Kecelakaan tragis ini pun mengingatkan kita akan tragedi jatuhnya pesawat Japan Airlines Flight 123 pada 36 tahun lalu, tepatnya pada 13 Agustus 1985, tragedi yang disebut-sebut sebagai kecelakaan pesawat tunggal terparah dalam sejarah penerbangan, di mana 520 orang meregang nyawa.   

Kecelakaan mengenaskan tersebut terjadi pada 12 Agustus 1985, saat pesawat Japan Airlines Boeing 747SR dengan rute penerbangan dari Bandara Haneda di Tokyo menuju Osaka International Airport mengumumkan status darurat 12 menit setelah lepas landas dan akhirnya, pesawat ini jatuh menghantam tanah dengan bagian punggung pesawat terlebih dahulu di dekat Gunung Takamagahara 32 menit kemudian.

japan airlines flight 123 japanesestation.com
Sebuah foto yang diambil tepat setelah Japan Airlines Flight 123 lepas landas dari Bandara Haneda pada 12 Agustus 1985, memperlihatkan awan sore hari di atas Tokyo Bay. Tak lama setelah itu, pesawat ini jatuh dan meledak di Prefektur Gunma, menewaskan 520 orang. (Ryoichi Ogawa)

Dilansir dari Aerotime Hub, pesawat yang dikemudikan oleh Kapten Masami Takahama dan First Officer Yutaka Sasaki ini mengalami dekompresi mendadak dan kerusakan di dinding bagian belakang pesawat yang membuat ekor pesawat terlepas, stabilizer vertikal hancur dan menghancurkan seluruh saluran hidrolik pesawat.

Tanpa stabilizer, pesawat tentu kehilangan stabilitasnya, membuat pesawat ini melayang-layang tanpa kendali di ketinggian 20.000-24.000 kaki. Para pilot pun terus berusaha menemukan cara bagaimana membuat pesawat mendarat tanpa kontrol penerbangan. Saat itu, diperkirakan bahwa kemampuuan kognitif mereka telah menurun akibat kurangnya oksigen. Rekaman suara yang ditemukan pun menunjukkan bahwa kedua pilot tak mengenakan masker oksigen karena suara keduanya terdengar jelas.  

“Kami tak dapat melakukan apapun sekarang!”

Beberapa menit sebelum JAL 747SR menghantam Gunung Takamagahara, para pilot mencoba menstabilkan pesawat dengan serangkaian dorongan cepat meski hasilnya nihil. Dalam rekaman, terdengar momen-momen terakhir Kapten Takahama sebelum pesawat tersebut menghantam tanah.

"Kami tak dapat melakukan apapun sekarang!" ucap sang pilot setelah melakukan usaha terakhirnya untuk membuat pesawat tetap terbang. Setelah itu, JAL 747SR menghantam tanah dan meledak.

Penyelamatan yang terlambat

Setelah jatuh, seorang navigator dari United States Air Force yang berada di Pangkalan Udara Yokota mengklaim bahwa ia telah memantau dan bersiap untuk melakukan penyelamatan sesegera mungkin, tapi hal ini tak dilakukan karena dibatalkan oleh pemerintah Jepang. Para personel di Yokota yang telah standby selama 20 menit setelah kecelakaan terjadi pun tak menerima izin untuk melakukan penyelamatan.

japan airlines flight 123 japanesestation.com
Sisa-sisa bangkai pesawat (wikipedia.org)

Setelah malam, sebuah helikopter Japan Self-Defense Forces (JSDF) menemukan situs kecelakaan, namun tak dapat mendarat akibat sulitnya pengelihatan. Pilot pun melihat tak adanya tanda-tanda penyintas dari angkasa, dan akhirnya memutuskan untuk mempersiapkan pencarian keesokan paginya.

Namun, staf medis menemukan 4 korban selamat dari 524 penumpang. Mereka juga menemukan beberapa tubuh dengan luka yang menunjukkan bahwa mereka tewas akibat shock dan dibiarkan sepanjang malam.

"Jika pencarian dilakukan 10 jam kemudian, kami akan menemukan lebih banyak korban selamat,” ujar salah satu dokter.

Penyebab

japan airlines flight 123 japanesestation.com
Sebuah foto yang diambil pada pukul 18:47 waktu setempat, memperlihatkan stabilizer vertikal pesawat hilang (wikipedia.org)

Menurut sebuah laporan resmi dari Japan's Aircraft Accident Investigation Commission, pesawat tersebut sempat terlibat kecelakaan kecil 7 tahun sebelumnya. Dalam insiden ini, penyekat belakang pesawat (rear pressure bulkhead) rusak dan tidak diperbaiki sesuai metode yang disetujui Boeing.

Untuk memperkuat sekat, teknisi menggunakan dua pelat sambungan, bukan satu spice plate dengan tiga baris paku keling, membuat ketahanan penyekat ini hanya 70% dari kapasitas aslinya. Selama penyelidikan, Komisi pun menghitung bahwa perbaikan yang salah ini akan menunjukkan kegagalan setelah menghdapai 10.000 siklus tekanan dan pesawat ini telah terbang selama 12.318 kali setelah diperbaiki.

Akibatnya, sekat pun mulai retak di dekat salah satu dari dua baris paku keling yang menyatukannya. Dan saat terjadi dekompresi, hal ini langsung merusak keempat sistem hidrolik dan mengeluarkan penstabil vertikal, membuat pesawat tidak dapat dikendalikan.

Setelah kecelakaan

Setelah kecelakaan, Japan Airlines tidak bertanggung jawab secara langsung atas tragedi tersebut dan melabeliya dengan “kecelakaan.” Perusahaan tersebut memang membayar dana sebesar 780 juta yen pada keluarga korban, namun bukan sebagai kompensasi, tapi “uang belasungkawa.” Namun, reputasinya menurun hingga 25% karena mayoritas orang beralih ke All Nippon Airways sebagai alternatif yang lebih aman. Monumen untuk mengenang korban yang tewas pun didirikan di Fujioka.

japan airlines flight 123 japanesestation.com
Monumen Japan Airlines Flight 123 di Fujioka (wikipedia.org)

Dan setelah tragedi jatuhnya pesawat Japan Airlines Flight 123, presiden JAL Yasumoto Takagi mundur dari jabatannya. Sementara itu, manager perbaikan JAL, Hiroo Tominaga, bunuh diri. Susuma Tajima, teknisi yang mengecek dan membersihkan 747SR sebelum melakukan penerbangan terakhirnya pun bunuh diri setelah kecelakaan terjadi.  

Itulah tragedi jatuhnya pesawat Japan Airlines Flight 123, kecelakaan pesawat tunggal terparah sepanjang sejarah.

Sumber:

Japan Airlines Flight 123

Aerotime Hub

Asahi Shinbun