Jepang terkenal dengan penggunaan plastiknya yang berlebihan. Sebuah laporan oleh Program Lingkungan PBB pada tahun 2018 mencantumkan Jepang sebagai konsumen plastik sekali pakai tertinggi kedua di seluruh dunia.
Ini dikarenakan bisnis di Jepang sering mengemas produk dalam beberapa lapis plastik. Naluri budaya mendorong masyarakat yang rapi dan memaksa produsen untuk membungkus produk dengan menarik. Supermarket di Jepang juga menggunakan pembungkus plastik untuk produk yang tidak biasa di negara lain, seperti buah-buahan tertentu.
Meskipun Jepang memang memiliki sistem daur ulang yang lebih ekstensif dibandingkan negara lain, tidak semua plastiknya didaur ulang. Tingkat daur ulang plastik hanya sekitar 27,8%, dan lebih dari 50% sampah plastik diubah kembali menjadi bahan bakar, dengan tambahan 14% dibakar bersama sampah lain.
Negara ini juga memiliki masalah sampah plastik, dan banyak dari sampah tersebut yang tidak dibuang dengan benar berakhir di perairan. Sampah di kota-kota bisa terbawa arus sungai lokal karena curah hujan, dan sampai ke laut. Sampah plastik ini mendatangkan malapetaka bagi kehidupan dan lingkungan laut.
Paus dan spesies lain mengonsumsi plastik karena salah mengira sebagai makanan, yang dapat menyebabkan kematian. Pada tahun 2018, seekor paus mati terdampar di pantai Kanagawa dengan perut penuh plastik. Spesies lain, seperti penyu, lumba-lumba dan burung, bisa saja bernasib sama. Ini berarti mencemari persediaan makanan kita sendiri.
Jepang memiliki kesadaran umum yang baik tentang masalah ini. Bahkan pemerintah Jepang telah mewajibkan perusahaan-perusahaan untuk mendaur ulang sendiri sampah plastik mereka. Namun, survei terbaru oleh Nippon Foundation menunjukkan kesenjangan antara kenyataan dan apa yang diyakini orang Jepang sebagai sumber spesifik pencemaran plastik di laut. Menurut hasil penelitian, 80,9% responden menyadari bahwa plastik di laut merupakan masalah serius. Meski sebagian besar tahu bahwa botol minum dan kantong belanja plastik berkontribusi terhadap pencemaran laut, responden kurang menyadari bahwa alat pancing dan wadah makanan plastik merupakan persentase besar sampah di laut.
Secara hukum, warga harus mendaur ulang plastik, mereka harus mengikuti pedoman pemilahan yang diberlakukan oleh pusat daur ulang. Penduduk dengan andal mengikuti prosedur ini, dan tingkat daur ulang adalah 84%. Namun, di situlah letak masalahnya.
Hingga 2017, Jepang mengirimkan sebagian sampah plastik ke China. Setelah China melarang praktik tersebut, Jepang mulai mengirimkan limbah ini ke negara-negara seperti Indonesia dan Vietnam. Beberapa menyatakan bahwa negara-negara miskin tidak mampu membuang plastik dengan benar. Setelah meneliti masalah tersebut, tampaknya negara-negara tersebut membiarkan banyak sampah masuk ke lautan. Memang, jumlah plastik lautan yang berasal dari Asia Tenggara sangat mencengangkan.
Ada inisiatif untuk membantu membangun kesadaran dan memungkinkan masyarakat terlibat dalam masalah ini. Misalnya, Nippon Foundation menjalankan Umi to Nihon (The Sea and Japan), sebuah proyek yang mendidik masyarakat tentang topik-topik yang berhubungan dengan laut.
Cabang-cabang lokal mengadakan acara tentang sampah plastik di laut dan mengatur pembersihan plastik. Misalnya, Umi to Nihon di Kanagawa mengadakan acara di tahun 2019 yang menggunakan program komputer untuk mengajarkan orang tua dan anak tentang sampah plastik di laut. Umi to Nihon di Kagoshima menyelenggarakan sesi pembersihan dan edukasi mikroplastik.
Masalah pencemaran sampah plastik di laut menunjukkan kepada kita pentingnya mencermati masalah yang mungkin tidak kita sadari. Tentu, sebagian besar dari kita tahu pada tingkat tertentu kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh sampah plastik bagi ekosistem dan satwa liar. Namun seperti responden dalam survei The Nippon Foundation, kita mungkin tidak terbiasa dengan detail atau bagaimana tindakan kita berkontribusi pada masalah tersebut. Sampah di darat merupakan masalah tersendiri. Namun, fakta bahwa sebagian besar limbah ini akhirnya berakhir di lautan menjadi contoh bagaimana masalah ini saling terkait. Ini juga menunjukkan bahwa satu tindakan dapat memiliki konsekuensi negatif yang besar di tempat lain di lingkungan kita.
Sumber: Zenbird, Japan Today