Berita Jepang | Japanesestation.com

Di tengah tingginya jumlah wisatawan yang berbondong-bondong berkunjung ke negara ini untuk melihat dedaunan yang berubah menjadi merah dan kuning, Jepang mengalami musim gugur terpanas sejak pencatatan pertama kali dilakukan pada tahun 1898.

Japan Meteorological Agency (JMA) mengatakan pada hari Senin (2/11) bahwa suhu di bulan September dan November lebih tinggi 1,97 derajat Celsius dari biasanya.

Gangguan di musim gugur ini terjadi setelah negara tersebut mengalami musim panas yang sangat terik dalam catatan sejarah. Suhu musim panas saat itu 1,76 derajat Celcius lebih tinggi dari rata-rata yang tercatat antara tahun 1991 dan 2020 selama bulan Juli dan Agustus.

Turunnya salju di Gunung Fuji juga sempat tertunda sebagai bagian dari pola perubahan musim yang tidak dapat diprediksi di seluruh dunia akibat krisis iklim. Musim panas yang lebih panjang berdampak pada tutupan salju dan curah hujan.

Gunung tertinggi di Jepang ini biasanya diselimuti salju pada pertengahan Oktober, yang menandakan dimulainya musim dingin. Namun, tahun ini, suhu yang lebih hangat membuat Gunung Fuji tidak bersalju, melampaui rekor sebelumnya pada tanggal 26 Oktober-yang ditetapkan dua kali, pada tahun 1955 dan 2016.

Antara bulan September dan November, suhu rata-rata Tokyo meningkat 2,4 derajat Celcius, daerah pusat Nagoya 2,9 derajat Celcius, dan Kota Sapporo bagian utara 1,2 derajat Celcius.

Karena warna dedaunan tidak berubah secepat biasanya, akibat tingginya suhu, perusahaan kereta api di Kyoto yang terkenal mengoperasikan jalur melalui hutan pohon maple telah mengubah jadwalnya.

Menurut JMA, waktu terbaik untuk melihat dedaunan musim gugur di Tokyo tahun ini adalah sekitar tanggal 5 Desember dan di Osaka pada tanggal 9 Desember, keduanya lebih lambat dari biasanya.

Sumber: Mainichi, JIJI, Independent