Seekor anjing berlari di sebuah situs simulasi bencana setelah mendengar pelatihnya, Chieko Uemura (48) meneriakkan perintah “Cari!” padanya. Jagaimo pun langsung menggonggong saat ia merasakan adanya keberadaan manusia di dekatnya.
Jagaimo, nama anjing itu, memang telah menghabiskan hampir satu dekade hidupnya bersama kelompok kesejahteraan hewan lokal dengan melakukan drill secara rutin seperti itu, sehingga ia siap saat bencana nyata datang. Dan setelah usahanya selama bertahun-tahun, Jagaimo berhasil menjadi seekor anjing penyelamat (rescue dog) pada 2017 silam setelah lulus tes kualifikasi pada percobaannya yang ke-11, tak menyerah meski telah ditolak berulang kali. Sayangnya, keberhasilan Jagaimo itu bittersweet. Jagaimo, yang dalam bahasa Jepang berarti “kentang” ini telah mendekati usia pensiun.
Jagaimo berasal dari sebuah desa di Iitate, Prefektur Fukushima, yang dievakuasi setelah hancurnya PLTN Fukushima No.1 pada 2011 silam. Kisah ketekunan Jagaimo juga telah masuk dalam buku teks pendidikan moral bagi siswa sekolah dasar lho!
Jagaimo sendiri lahir di Iitate pada Juni 2011, tiga bulan setelah bencana terjadi. Pemilik awalnya harus berpisah dengan anak-anak anjingnya saat ia dievakuasi dari daerah tersebut. Dia pun meminta Tsuneo Yamaguchi (69), kepala Pusat Perawatan Hewan Jepang yang berbasis di Gifu, untuk menemukan mereka pemilik baru ketika Yamaguchi mengunjungi daerah bencana untuk memberikan bantuan.
Nama unik Jagaimo berasal dari kentang yang didapatkan oleh pusat perawatan tersebut dari pemilik asalnya. Saudara-saudara Jagaimo segera mendapatkan pemilik baru dan diadopsi, namun, tak ada yang datang untuk mengadospi Jagaimo.
Namun, Yamaguchi memperhatikan bakat atletik yang luar biasa dan memutuskan untuk melatihnya menjadi seekor anjing penyelamat untuk mencari orang yang hilang di situs terjadinya bencana. Ia berpikir dengan melakukannya, dapat membantu memberi semangat bagi mereka yang terdampak bencana nuklir. Tetapi anjing itu terlalu waspada sehingga suara-suara kecil saja cukup untuk membuatnya terkejut.
“Ia menjadi pemalu saat dia tumbuh, jadi mengikutil ujian tidak mungkin,” kata Yamaguchi.
Tes kualifikasi anjing penyelamat biasanya diadakan dua kali setahun di berbagai bagian Jepang. Dengan tingkat kelulusan hanya sekitar 30 persen, ujian tidak pernah mudah. Terlebih lagi, pusat perawatan hewan itu tidak pernah melatih seekor anjing kampung menjadi anjing penyelamat.
Jagaimo pun gagal dalam 10 tes berturut-turut sejak musim gugur 2012 silam.
Untuk mengurangi ketakutannya, Jagaimo dibawa berjalan-jalan di daerah perkotaan agar dia terbiasa dengan kerumunan manusia. Hal ini manjur, ia mulai terbiasa dan mulai berkembang pesat dalam mencari manusia yang terhalang pandangannya hingg akhirnya lulus ujian pada Juni 2017.
Atas semua itu, pusat perawatan hewan itu menerima berbagai pesan yang mendukung kerja keras Jagaimo, meski ada beberapa kritik. Beberapamengritik dan meminta agar mengakhiri latihan tersebut karena dianggap terlalu keras bagi Jagaimo, sementara yang lain mengatakan bahwa mungkin anjing itu tak cocok menjadi anjing penyelamat.
“Kami tidak memiliki pilihan untuk menyerah di tengah-tengah selama kami memikirkan komunitas yang terkena bencana,” kata Yamaguchi, terdengar agak menyesal.
Begitu dia disertifikasi sebagai anjing penyelamat, Jagaimo tiba-tiba diminati. Ia ditelepon untuk menghadiri acara, melakukan demonstrasi di sekolah dan berpartisipasi dalam latihan penanggulangan bencana. Pada tahun 2019, ia ikut serta dalam pencarian seorang gadis yang hilang di Prefektur Yamanashi.
Perintah evakuasi pun dicabut pada Maret 2017 untuk sebagian besar Iitate. Pemerintah desa juga menunjuk Jagaimo sebagai Humas Iitate.
Ia melakukan kunjungan pada musim semi dan musim gugur untuk bertemu kembali dengan Kimie Inoue, mantan pemiliknya, yang sekarang tinggal di ibu kota prefektur Fukushima.
“Saya merasa dia sangat bisa diandalkan setiap kali saya melihatnya, seolah-olah saya sedang mengawasi pertumbuhan anak saya sendiri,” kata Inoue, 57 tahun.
Kerja keras Jagaimo menjadi pokok bahasan dari dua buku anak-anak dan sebuah buku bergambar. Kisah hidupnya juga diambil pada tahun fiskal 2020 ke dalam buku teks pendidikan moral untuk siswa kelas enam, yang juga menggambarkan bagaimana perasaan Uemura terpecah dan saling bertentangan saat dia terus melatih anjing itu.
Anjing penyelamat umumnya hanya diperbolehkan bekerja di garis depan sampai mereka berumur 10 tahun. Dan Jagaimo telah mendekati usia itu.
Di tengah pandemi COVID-19 ini, ia telah kehilangan hampir semua kesempatannya untuk tampil di depan umum, dan ia juga harus menahan diri dari kunjungannya ke Fukushima pada musim semi ini.
“Lebih baik bencana tidak pernah terjadi,” kata Yamaguchi.
“Tapi, jika hal itu masih terjadi, saya akan mengirimnya (untuk menjalankan misi),” tambahnya.
Setelah bencana nuklir tersebut, Badan Perawatan Hewan Jepang merawat 48 ekor anjing, termasuk anjing yang tak lagi mampu dirawat pemiliknya dan anjing liat di jalanan.
Meski sebagian besar telah dikembalikan ke pemiliknya atau mati karena umur, pusat perawatan di Gifu masih memelihara 7 ekor anjing, termasuk Jagaimo.
“Mereka nampaknya akan menghabiskan hidup mereka di sini,” ujar Yamaguchi.