Sebagai negara yang dikenal dengan perkembangan teknologinya yang sangat maju, ternyata Jepang memiliki masalah serius tentang pernikahan anak, dan masuk dalam daftar 40 negara yang menurut UNICEF memiliki tingkat perkawinan anak tertinggi pada tahun 2017 lalu. Beberapa negara seperti Jerman, Nepal, Belanda, Spanyol, Swedia dan lain-lain baru-baru ini merevisi undang-undang untuk mengurangi pernikahan anak.
Pemerintah Jepang pun tampaknya akan bergabung dengan gerakan ini untuk mengakhiri masalah pernikahan anak. Salah satunya adalah merevisi undang-undang dengan menaikan usia minimal menikah bagi perempuan menjadi 18 tahun, sama dengan laki-laki. Saat ini, orang-orang harus berusia 20 tahun untuk menikah tanpa izin orang tua, namun dengan izin orang tua, pria bisa menikah di usia 18, dan anak perempuan bisa menikah pada usia 16 tahun.
Jika disetujui, maka Rancangan Undang-Undang (RUU) akan mulai berlaku mulai tahun 2022 mendatang. Langkah ini sudah lama tertunda, di mana usia pernikahan yang berbeda untuk wanita dan pria dianggap diskriminatif oleh hak asasi manusia internasional. Pernikahan anak sebelum usia 18 tahun dikaitkan dengan gadis-gadis yang putus sekolah, kemiskinan, mereka dianggap beresiko besar mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dan juga risiko kesehatan yang serius saat proses kehamilan.
Maka dari itu, di bawah target pembangunan berkelanjutan PBB, yang mulai berlaku pada Januari 2016, negara-negara di seluruh dunia, termasuk Jepang, menyetujui target untuk menghentikan semua pernikahan anak pada tahun 2030 mendatang. Banyak negara lain bahkan telah mengembangkan atau sedang mengembangkan rencana aksi untuk menghentikan pernikahan anak pada tahun 2030.
Untuk merealisasikan hal tersebut, pemerintah Jepang harus merencanakan undang-undang baru dengan mengambil peran yang lebih aktif dalam upaya global untuk mengakhiri pernikahan anak, dan mendukung reformasi di banyak negara di mana terlalu banyak anak-anak perempuan menikah di usia yang masih sangat muda.