Berita Jepang | Japanesestation.com

Kata konkatsu (berburu pasangan) memang kerap menjadi topik pembicaraan soal pernikahan di Jepang. Memang, apa sih konkatsu itu?

Kata tersebut pertama kali dipopulerkan dari sebuah wawancara antara ahli sosiologi Yamada Masahiro dan seorang junalis, Shirakawa Tōko. Menurut Yamada dan Shirakawa, pola pikir Jepang berubah dan kini mulai aktif mencari pasangan layaknya melakukan shūkatsu (berburu pekerjaan).

Kini, memang tak banyak pria yang memiliki gaji yang cukup untuk membentuk keluarga, membuat pilihan para wanita pun berkurang. Karena itulah, Yamada dan Shirakawa mendorong wanita agar menurunkan ekspektasi finansial bagi para partner mereka.  Awalnya, memang seperti itu keadaannya. Namun, kini konkatsu malah mengarah ke jalur berbeda. Bukan menurunkan batas gaji yang diinginkan, mayoritas wanita single Jepang mengikuti kelas tata krama dan memasak untuk “mempercantik diri” sebelum mereka melakukan konkatsu.

Dalam konkatsu ini, orang-orang melakukan “assortive mating” —memilah calon pasangan dengan prasyarat untuk pasangan yang mereka inginkan sesuai dengan gaya hidup yang paling diinginkan — dan mempromosikan diri mereka sendiri melawan pesaing mereka.

Status Lebih Penting Dibanding Cinta

pernikahan di Jepang japanesestation.com
Ilustrasi pernikahan (nippon.com)

Menemukan pasangan secara daring memang tengah in. Namun, ada yang berbeda dari situs kencan online Jepang. Pengguna situs ini menyatakan mereka mencari “spouses,” bukan “mates” seperti di negara lain. Hal ini disebabkan karena masyarakat Jepang sendiri membedakan antara konkatsu (spouse hunting) dan koikatsu (mate hunting). Gaya menikah ini juga didukung dengan pansangan bahwa mnikah sangat penting untuk status sosial.

Setelah bubble ekonomi runtuh, meski banyak wanita yang sudah bisa berdiri sendiri, tetap banyak wanita yang cemas. Kontras saat dalam bubble era di mana cinta lebih penting dari pernikahan, para wanita mulai mencari partner yang kaya, membuat para pria pun merasa bawhwa mereka wajib menjadi  pilar dalam pernikahan. Konkatsu benar-benar memperlihatkan masalah-masalah dalam masyarakat Jepang tersebut.

Rasa Kekeluargaan dan Pernikahan Jepang yang Goyah

pernikahan di Jepang japanesestation.com
Ilustrasi pengantin (pakutaso.com)

Perlahan, kehidupan pernikahan pun mulai berubah. Menurut survei yang digelar oleh Kantor Kabinet pada 2017, 42,5% pria dan wanita berumur 60 tahunan tidak ambil pusing jika hukum menetapkan jika orang-orang tetap menggunakan nama keluarga mereka meski sudah menikah. Terkait pernikahan sesama jenis, polling opini publik yang digelar pada 2019 lalu oleh NHK menunjukkan bahwa 51% penduduk Jepang mengatakan bahwa penikahan sesama jenis seharusnya diizinkan.

Bahkan, para pemuda pun mulai mengerti bahwa banyak pasangan same-sex dan pasangan biasa juga tidak perlu mengganti nama marga mereka jika tidak mau.

Tak hanya itu, para pemuda juga punya berbagai bayangan tentang apa itu arti sebuah pasangan. Misalnya isu tentang, “suami harus bekerja di luar rumah dan perempuan harus menjadi ibu rumah tangga” yang malah meningkat di Jepang. Banyak pemuda yang menganggap dan mencari cara agar menikah dengan cara yang lebih konservatif. Beberapa pemuda bahkan menginginkan bahwa ada pandangan liberal tentang pernikahan di mana mereka ingin dan terlihat lebih konservatif.

Konkatsu sendiri kerap disebut sebagai solusi meningkatkan angka kelahiran di Jepang. Dan pada 2012 silam, Shirakawa Tōko mengusulkan isttilah ninkatsu (hunting kehamilan”, atau jika mampu, lihatlah shūkatsu dan konkatsu. Bahkan. Perdana menteri Shinzo Abe juga mulai terarik dengan konkatsu dan ninkatsu sejak saat itu.

Nah pertamyaannya, bisakah konkatsu menangani semua masalah di atas?