Berita Jepang | Japanesestation.com

Apakah yang teman-teman JS bayangkan saat mendengar kata “putri duyung?” Pasti mayoritas sosok yang terbayang di kepala teman-teman adalah wanita cantik dengan ekor seperti ikan yang berenang di lautan kan? Nah, ternyata, Jepang juga punya “putri duyung” lho! Bedanya, putri duyung Jepang tak memiliki ekor layaknya putri duyung dalam dongeng, meski sama kerennya, Ya, para putri duyung Jepang ini disebut Ama diver, wanita penyelam Jepang tangguh yang menghormati tradisi leluhurnya hingga kini, meski keadaan telah berubah.

Nah, kata Ama (海女) sendiri memiliki arti, “wanita lautan” yang namanya telah tercatat sejak tahun 750 Masehi di buku puisi tertua Jepang, Man’yoshu. Para Ama diver memiliki teknik spesial sendiri lho yang membuat mereka dapat menyelam hingga sejauh 30 meter ke permukaan laut di mana mereka dapat menahan nafas mereka hingga dua menit. Setelah itu, para Ama akan kembali ke permukaan, membuka mulut mereka sementara mereka menghembuskan nafas dan bersiul rendah yang dikenal dengan nama isobue. Mereka akan bekerja hingga 4 jam per hari dalam sistem shifting.

Penyelam Ama rata-rata sudah dilatih untuk menyelam saat masih berusia 12 tahun. Kemudian, hal yang mengagumkan adalah kebanyakan dari mereka baru berhenti menyelami lautan saat usia sudah menyentuh 70 sampai 80 tahun.

ama diver Jepang japanesestation.com
Ama diver (theculturetrip.com)

Pada zaman sekarang, Ama diver lebih dikenal sebagai wanita yang mengumpulkan mutiara. Padahal sebenarnya tidak begitu lho, awalnya mereka hanya penyelam yang berenang bebas dan mengambil hasil laut seperti kerang-kerangan dan rumput laut. Hal ini diakibatkan pada tahun 1893, seorang pengusaha bernama Kokichi Mikimoto memulai usaha budidaya mutiara dan para Ama diver lah yang diberi tugas untuk melancarkan usaha Mikimoto.

Kerennya lagi, awalnya perlengkapan menyelam yang digunakan para Ama diver pun sangat sederhana, hanya cawat dan bandana saja, tanpa alat bantu pernapasan sama sekali. Namun, setelah Perang Dunia II selesai dan memasuki zaman modern, cawat dan bandana yang dikenakan para ama diver mulai digantikan dengan pakaian menyelam dberbahan neoprene dan masker khusus meski tetap tak memakai alat bantu pernapasan.

Sayangnya, seiring berjalannya waktu, jumlah Ama diver makin menipis saja. Pada tahun 1950-an, jumlah mereka diyakini lebih dari 17.000 orang, namun sekarang hanya kurang dari 2.000 orang. Faktor yang membuat penyelam Ama berkurang antara lain karena banyaknya tawaran pekerjaan untuk wanita di zaman sekarang, juga adanya usaha perikanan komersial.

Selain itu, menurunnya jumlah ikan di lautan akibat perubahan iklim dan adanya pembatasan penangkapan ikan pun memperburuk keadaan dan pendapatan para Ama diver. Karena itu, para Ama diver muda harus terus mencari ide agar ekonomi sekaligus tradisi turun temurun ini dapat berjalan lancar.

Megumi Kodera (37), salah satu Ama  diver yang berusaha mencari cara baru itu dengan memanfaatkan sebuah aplikasi belanja bagi petani dan nelayan untuk memasarkan hasil tangkapannya secara langsung.

“Aplikasi ini membuatmu dapat memutuskan harga dan waktu penjualan sendiri,” ujar Kodera

ama diver Jepang japanesestation.com
Megumi Kodera (tengah), menunjukkan produk rumput laut produksinya saat pertemuan Ama (kyodonews.net)

Sementara itu, Ama diver muda lain, Rikako Sato (32), memanfaatkan kemampuan bahasa Inggrisnya untuk memperkenalkan kultur Ama pada para turis.

"Dengan memperliharkan kesulitan dan sisi menyenangkan Ama, aku ingin orang-orang dapat mengetahui bagaimana hebatnya Ama. Mungkin saja seorang siswa SD yang melihat kami akan bercita-cita menjadi seorang Ama di masa depan,” ujarnya.

Aiko Ono, seorang Ama diver lain juga mengatakan bahwa dirinya akan berusaha untuk mewariskan kultur Ama ke keturunannya.

“Itu sudah jadi tanggung jawabku. Aku sendiri tak yakin apakah aku bisa menyelam hingga usia 80-an, namun aku akan terus terlibat dengan Ama,” ujar Ono.

Nah itulah Ama, penyelam wanita tangguh Jepang yang terus mempertahankan tradisi hingga sekarang. Jika kamu ingin melihatnya, mereka masih bisa ditemui di Ise-Shima, Kota Toba, Prefektur Mie jika ke Jepang nanti!

Sumber:

The Culture Trip

Kyodo

Forbes