Berita Jepang | Japanesestation.com

Sebagian masyarakat menuntut gubernur prefektur Kyoto pada hari Rabu lalu untuk mengembalikan uang pajak yang digunakan untuknya dan para pejabat pemerintahan prefekut lainnya yang digunakan untuk menghadiri upacara agama Shinto tahun kemarin. Upacara tersebut merupakan upacara memperingati kenaikan tahta kaisar Naruhito. Kehadiran gubernur Kyoto tersebut dianggap melanggar undang-undang yang ada.

Penggugatnya menyatakan bahwa gubernur Takatoshi Nishiwaki harus mengembalikan uang sebesar 390.000 yen (sekitar 53,7 juta rupiah) atas perbuatannya yang melanggar undang-undang, yaitu membedakan keperluan keagamaan dan pemerintahan ketika mengunjungi Daijosai (sebuah upacara agama Shinto yang diadakan di istana kekaisaran Tokyo pada bulan November tahun lalu).

Kaisar Jepang wanita japanesestation.com
Upacara pengangkatan Kaisar Jepang. (nippon.com)

Hal yang dilakukan oleh gubernur Kyoto ini dianggap melanggar prinsip pemisahan antara hal keagamaan dan pemerintahan, karena menggunakan uang pajak masyarakat untuk menghadiri upacara keagamaan. Dalam gugatan tersebut, 12 warga Kyoto juga mempertanyakan apakah kehadiran pejabat-pejabat ini juga berhubungan dengan Daijosai yang diadakan di Nantan pada bulan September tahun lalu.

Nishiwaki dan beberapa pejabat lainnya mengikuti Daijoku no gi, bagian utama dari Daijosai, dimana kaisar mempersembahkan beras yang baru saja dipanen kepada dewi matahari Amaterasu dan dewa-dewa bumi dan langit lainnya pada tanggal 14 dan 15 November tahun lalu. Tidak hanya itu, mereka juga ikut bagian dalam Saiden Nukiho no gi, sebuah upacara untuk memanen beras yang akan digunakan dalam upacara agama Shinto.

Penggugat telah meminta audit pada bulan Agustus yang lalu untuk meminta pengembalian uang yang terpakai untuk Daijosai tersebut, namun permintaan tersebut ditolak pada bulan Oktober.

Kasus yang serupa ini pernah terjadi pada upacara Daijosai sebelumnya pada tahun 1990 yang dilaksanakan oleh kaisar Akihito. Kejaksaan tinggi Osaka yang berkuasa pada tahun 1995 menyebutkan keraguannya mengenai pendanaan upacara-upacara agama Shinto yang melanggar undang-undang. Namun pemerintah pusat Jepang saat itu berhasil menjamin bahwa upacara tersebut tidak menggunakan uang pemerintah.