Berita Jepang | Japanesestation.com

Pekan lalu Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang telah merilis hasil dari Survei Statistik Perumahan dan Tanah, yang dilakukan setiap lima tahun. Survei tersebut mengungkapkan bahwa saat ini ada sekitar 9 juta akiya di Jepang.

istilah akiya berasal dari aki, yang berarti kosong, dan ya, yang berarti rumah, merujuk pada tempat tinggal tanpa penghuni tetap.

Meskipun kota-kota besar Jepang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, negara ini juga memiliki jumlah akiya yang signifikan. Jumlah akiya di Jepang mengalami peningkatan sekitar 510.000 sejak survei lima tahun sebelumnya, dan dua kali lipat dari jumlah yang tercatat 30 tahun yang lalu.

Data paling mengkhawatirkan dari laporan tersebut menunjukkan bahwa 3,85 juta dari akiya tersebut adalah hochi akiya, yang umumnya disebut sebagai rumah terlantar, menyumbang 5,9 persen dari unit perumahan di Jepang.

Grafik yang menunjukan peningkatan jumlah akiya dari tahun ke tahun.
Grafik yang menunjukan peningkatan jumlah akiya dari tahun ke tahun.

Grafik yang menunjukkan jumlah akiya di Jepang, terdiri dari rumah terlantar (bar merah muda), rumah disewakan (bar putih dengan titik-titik), rumah dijual (bar hitam dengan titik-titik), dan rumah bekas/liburan (bar bergaris). Untuk setiap kategori, jumlah rumah, dalam satuan 10.000, ditulis di bagian bar tahun demi tahun.

Meskipun akiya dapat mencakup properti seperti rumah liburan yang tidak ditempati sebagian besar tahun, atau tempat tinggal yang sudah selesai dibangun tetapi belum terjual. hochi akiya secara khusus menunjukkan rumah yang tidak memiliki penghuni dan tidak tersedia untuk dijual atau tujuan lainnya. Jumlah rumah terlantar di Jepang telah meningkat sebesar 36 juta sejak survei sebelumnya pada tahun 2018, lebih dari dua kali lipat sejak tahun 1998.

Peningkatan jumlah akiya di Jepang disebabkan tak lain karena penuaan populasi dan penurunan laju kelahiran. Dengan jumlah individu yang lebih sedikit, permintaan akan perumahan menurun, dan ukuran keluarga yang lebih kecil mengakibatkan permintaan yang berkurang untuk rumah-rumah yang sebelumnya cocok untuk menampung orang tua, beberapa anak, dan mungkin bahkan kakek nenek yang tinggal bersama di bawah satu atap.

Selain itu, Jepang telah menyaksikan tren migrasi penduduk yang terus berlanjut dari daerah pedesaan ke pusat perkotaan besar selama beberapa generasi terakhir. Prefektur-prefektur dengan persentase tertinggi rumah yang ditinggalkan, semuanya melebihi 10 persen, secara umum berada di daerah pedesaan.

Rumah terlantar di Jepang (Zenbird).
Rumah terlantar di Jepang (Zenbird).

Kemungkinan besar banyak individu dari daerah-daerah ini, yang melintasi beberapa generasi terakhir, pindah untuk mengejar peluang pendidikan dan karir yang tidak tersedia dengan mudah di kampung halaman mereka. Sebagai contoh, tiga dari delapan prefektur teratas terletak di Shikoku, satu-satunya pulau utama Jepang yang tidak memiliki satupun stasiun Shinkansen.

Di sisi lain, Tokyo memiliki proporsi rumah terlantar yang paling sedikit, hanya sebesar 2,6 persen. Demikian pula, prefektur-prefektur lain yang memiliki pusat-pusat perkotaan utama menunjukkan peringkat rendah dalam hal akiya terlantar, seperti Kanagawa (termasuk Yokohama) sebesar 3,2%, Aichi (Nagoya) sebesar 4,3%, dan Osaka, Fukuoka, dan Miyagi (Sendai), semuanya sebesar 4,6%. Prefektur-prefektur tetangga Tokyo, Saitama dan Chiba, juga melaporkan angka rumah terlantar yang rendah, masing-masing sebesar 3,9% dan 5%.


Sumber data: Kementrian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang via SoraNews24