Berita Jepang | Japanesestation.com

Lebih dari 60% pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit jiwa di Jepang tak dapat dipindahkan ke fasilitas medis khusus kasus COVID-19. Pasalnya, berdasarkan sebuah survei baru-baru ini, mayoritas rumah sakit umum menolak merawat mereka karena mengangap mereka sulit ditangani. Bahkan, beberapa pasien harus tewas akibat COVID-19, mmebuat banyak ahli khawatir jumlahnya akan terus bertambah karena kurangnya perawatan yang sesuai.

Melansir Mainichi, Japan Psychiatric Hospitals Association di Distrik Minato, Tokyo, mengirimkan sebuah kuisioner pada 1.192 rumah sakit jiwa dan menerima 524 respon.  Survei tersebut membuktikan bahwa ada 1.012 pasien rumah sakit jiwa yang terinfeksi COVID-19 antara Maret 2020 hingga Januari 2021. Semua pasien ini harus dipindahkan ke fasilitas medis lain karena sulit bagi rumah sakit jiwa untuk menyediakan pengobatan dan perawatan COVID-19 secara lengkap, namun, 631 dari pasien tersebut (62,4%) dari pasien tersebut tak dapat dipindahkan, sementara 381 pasien (37,6%) akan direlokasi.  

Banyak rumah sakit yang mengungkapkan alasan terkait penyakit kejiwaan mengapa mereka sulit menemukan rumah sakit umum yang mau menerima pasien dengan gangguan kejiawaan. Seperti, "Pasien dengan gangguan jiwa tak bisa diam.” Salah satu rumah sakit bahkan mengatakan, "Salah satu pegawai sebuah pusat kesehatan bahkan mengatakan pada kami bahwa, ‘Sulit memindahkan pasien lagi, jadi rawat saja mereka di rumah sakitmu hingga mereka meninggal.” Fasilitas medis lain mengatakan bahwa tiga pasien di rumah sakit mereka meninggal dunia akibat tak bisa dipindahkan ke rumah sakit lain.  

covid-19 bunuh diri jepang japanesestation.com
Virus COVID-19 (NHK)

Bahkan, dalam sebuah kasus dimana seorang pasien berhasil dipindahkan, satu rumah sakit jiwa mengatakan, “Seorang pasien meninggal di rumah sakit baru. Hidup mereka mungkin bisa diselamatkan jika dipindahkan lebih cepat.”

Saat pasien tak bisa dipindahkan, rumah sakit jiwa harus merawat mereka. Namun menurut asosiasi tersebut, banyak kasus dimana pasien tak bisa mendapatkan penanganan yang cukup akibat gejala mereka semakin parah karena rumah sakit jiwa kekurangan ahli dan peralatan penanganan COVID-19.

Wakil Ketua Japan Psychiatric Hospitals Association, Wataru Nogi, khawatir akan semakin banyak pasien COVID-19 meninggal dunia akibat kurangnya penanganan.

"Gejala COVID-19 dapat memburuk dengan cepat. Pasien-pasien harus segera dipindahkan saat gejala mereka ringan atau sedang, tapi tidak semua bisa dpindahkan,” ujarnya.

"Seleksi hidup dimana pasien dengan gangguan jiwa dianggap ‘kurang penting’ sepertinya telah dimulai,” tambah Nogi.

Rumah sakit jiwa umumnya ada dalam kondisi yang tak sesuai untuk menangani pasien COVID-19. Tentu sulit menyediakan pertukaran udara yang baik di bangsal rumah sakit dengan pintu kamar dan koridor yang terkunci. Belum lagi, sulit untuk mencegah infeksi karena banyak pasien yang tak mengerti mengapa mereka harus memakai masker, dan mereka tak dapat menaruh desinfektan dalam ruangan karena pasien bisa saja tak sengaja menelannya.

COVID-19 perang japanesestation.com
Ilustrasi virus COVID-19 (shutterstock.com)

Japan Psychiatric Hospitals Association juga mengatakan bahwa klaster COVID-19 telah terjadi di lebih dari 30 rumah sakit jiwa. Ironisnya, meski mereka beririsko tinggi, pasien dengan gangguan kejiwaan tidak diprioritaskan untuk menerima vaksinasi.

Asosiasi pun telah mengirimkan sebuah permintaan tertulis pada pemerintah pusat pada 20 Januari lalu, meminta pasien dengan gangguan jiwa menjadi prioritas penerima vaksinasi. Mereka juga mengungkapkan bahwa mereka kesulitan untuk memindahkan pasien ke rumah sakit khusus penanganan COVID-19 dan angka rumah sakit jiwa yang dipaksa untuk tetap “terkunci” padahal menjadi klaster COVID-19 semakin meningkat.

covid-19 pasien gangguan kejiwaan japanesestation.com
Presiden Japan Psychiatric Hospitals Association, Manabu Yamazaki (Mainichi/Shinji Kurokawa)

Presiden Japan Psychiatric Hospitals Association, Manabu Yamazaki pun mengatakan bahwa mereka yang memutuskan tingkat prioritas vaksinasi tidak mengetahui situasi di rumah sakit jiwa.

“Saya juga berpikir bahwa prasangka buruk terhadap kesehatan jiwa juga menjadi alasan di balik keputusan tersebut. Padahal, pasien rumah sakit jiwa yang berisiko tinggi harus diproritaskan dalam vaksinasi,” ujarnya.  

Menurut survei yang dilakukan Japan Psychiatric Hospitals Association, beberapa rumah sakit jiwa tak dapat memindahkan pasien COVID-19 ke rumah sakit lain karena alasan berikut:

  • Staf rumah sakit dan institsusi lain mengatakan mereka memprioritaskan para lansia.
  • Seiring dengan meningkatnya angka orang yang tertular, angka ranjang rumah sakit yang kosong pun menurun. Rumah sakit lain pun meminta agar mereka merawat pasien di rumah sakit mereka sendiri.
  • Memindahkan pasien sangat sulit karena individu dengan ketidakstabilan mental tak bisa diam.
  • Pusat kesehatan lokal merespon dengan komentar kejam, seperti: "Kalian hanya mengganggu kami dengan terus meminta pemindahan,” dan “Sulit untuk memindahkan pasien lebih banyak lagi, jadi rawat saja mereka di rumah sakitmu hingga mereka meninggal."
  • Hanya ada sedikit sekali rumah sakit yang menerima pasien dengan komplikasi (seperti gangguan jiwa yang membutuhkan dialisis).