Banyak chef mencoba bermain dengan proses kimiawi untuk memberi rasa dan aroma baru pada makanan. Seperti yang dilakukan pada gastronomi molekular. Peneliti di Jepang justru sedang mencari cara baru untuk membuat hidangan lebih enak melalui perubahan teknik memasak.
Sembilan chef dan tiga ilmuwan bekerja di laboratorium Kyoto University untuk menemukan cara memasak sempurna yang sebelumnya tidak berubah selama berabad-abad. Mereka mencari tahu bagaimana mengukus abalone, memberikan aroma pada udara, berapa lama shiokara (fermentasi jeroan hewan laut) dapat bertahan dan menyiapkan tiap bahan makanan secara sempurna. Peneliti juga berusaha menciptakan makanan yang membuat lidah merasakan beragam rasa berbeda dalam waktu beberapa detik. Tim peneliti mengaplikasikan metode ilmiah pada resep tradisional. Ini berbeda dengan yang dilakukan pada gastronomi molekular. Chef dan ilmuwan Jepang tersebut justru tetap menjaga sekaligus memodifikasi teknik kuno, tanpa menyalahi aturan di dapur. Kebanyakan eksperimen dilakukan di Japanese Cuisine Laboratory, School of Agriculture Kyoto University. Penelitian dipimpin oleh Tohru Fushiki, profesor kimia nutrisi sekaligus peneliti terkemuka oishisa (citarasa). Fushiki bersama tim melakukan penelitian berbulan-bulan untuk menemukan teknik masak terbaik. Seperti mencari tahu suhu terbaik mengukus abalone. Ilmu yang pernah dipelajari menyebutkan abalone seharusnya dikukus dalam suhu 100 derajat Celcius selama dua jam. Namun setelah menghabiskan waktu 6 bulan, mereka menyimpulkan suhu paling tepat adalah antara 60 sampai 64 derajat Celcius, tergantung pada penggunaannya. "Ternyata selisih dua derajat memiliki dampak besar pada kelezatannya," tutur Fushiki, seperti dilansir dari Washington Post (27/10/2014). Kerja tim Fushiki yang luar biasa telah menggelitik rasa penasaran beberapa chef populer di Jepang termasuk Motokazu Nakamura. Chef terkenal ini pemilik restoran turun temurun berusia 190 tahun. Menurutnya, kebanyakan chef Jepang akan membagikan rahasia masak hanya pada anak dan keturunannya. Ia menyebut hal tersebut bukan masa depan dari hidangan. Seperti yang dilakukan Nakamura, ia terbiasa dengan suatu teknik karena mengulangi prosesnya terus menerus tanpa mengerti kenapa ia melakukannya.