Menurut data penelitian baru dari Lembaga Penelitian dan Pelatihan Statistik Jepang telah terungkap bahwa di tahun 2016 ada sekitar 4,5 juta orang paruh baya di Jepang berusia antara 35 hingga 54 tahun yang masih melajang dan tinggal bersama orangtua mereka. Selain belum menikah, beberapa di antara mereka yang disebut sebagai "parasites singles" juga dalam keadaan menganggur atau setengah menganggur, sehingga menimbulkan kesulitan bagi negara tersebut yang saat ini sedang berjuang dengan tingkat kelahiran yang menurun, angkatan kerja yang menyusut, dan populasi yang menua. Para ahli menyebut situasi ini sebagai "bom waktu demografis".
Seperti dikutip dari nextshark.com, istilah parasites singles itu sendiri diciptakan pada tahun 1997 oleh seorang sosiolog bernama Masahiro Yamada. Situasi saat ini di mana orang paruh baya di Jepang masih melajang bermula selama masa 'bubble economy' pada tahun 90an. Pada waktu itu mereka yang masih berusia 20 tahunan mengira bahwa mereka pasti sudah menikah di usia 30-an dan tidak akan memiliki masalah sehingga dengan senang hati menghibur diri mereka sendiri.
Tapi seiring dengan berjalannya waktu, sepertiga dari mereka tidak pernah menikah atau gagal untuk menikah, dan mereka yang sekarang berusia sekitar 50 tahunan berada di ambang usia tua. Para parasites singles yang terus bergantung pada orangtua mereka menghadapi tantangan berat karena orangtua mereka mungkin tidak akan hidup lebih lama lagi bersama mereka, dan uang pensiun atau tabungan yang dimiliki orangtuanya akan mempengaruhi pembiayaan hidup mereka.
Menurut para ahli, sebagian orang paruh baya di Jepang memilih untuk tidak menikah bahkan jika mereka menginginkannya adalah karena alasan ekonomi, di mana pekerjaan yang tidak stabil dan kenaikan gaji yang rendah. Beberapa di antara mereka sebelumnya ada yang pernah bekerja namun dipecat setelah restrukturisasi perusahaan.