Bila berbicara tentang Riri Riza di dunia perfilman Indonesia, rasanya tidak perlu banyak menjelaskan bagaimana kiprah sutradara, penulis naskah dan produser kelahiran Makassar ini secara lugas. Hampir semua orang yang menyukai film mengerti namanya, setidaknya karya-karyanya yang banyak mendapat penghargaan dan menjadi hits besar. Laskar Pelangi garapannya menjadi hits box office Indonesia, sedangkan Ada Apa Dengan Cinta yang dia produseri menyuarakan prestasi yang sama. Belum lagi film-film lainnya yang mendapat pengakuan dari dalam maupun luar negeri.
Kini dalam agenda Tokyo International Film Festival ke-29, filmnya yang berjudul Emma' terpilih untuk mewakili keberagaman Indonesia melalui proyek Crosscut Asia #03: Colorful Indonesia. Bersama 10 film lainnya, semuanya akan memulai debutnya di Jepang sebelum didistribusikan ke negara-negara lainnya. Riri pun akan berangkat ke Tokyo untuk menghadiri pembukaan acara Crosscut Asia #03: Colorful Indonesia pada tanggal 25 Oktober 2016, dan inilah pendapatnya tentang Negeri Matahari Terbit beserta film-film produksinya.
Berapa lama Riri akan tinggal di Jepang dalam rangka TIFF ini?
Kurang lebih empat malam.
Sudah berapa kali ke Jepang?
Kurang lebih 10 kali. Dulu pertama kali saya ke sana tahun 1993 diundang menghadiri Student Film Festival di Tokyo. Ada sebanyak 2 - 3 kali. Setelahnya saya secara reguler datang di Fukuoka International Film Festival.
Bagaimana pendapat Riri tentang Jepang secara umum?
Jepang sangat bebas memberi ruang kepada individu untuk mengekspresikan pikirannya. Apalagi melihat masyarakatnya yang beragam dan kekuatannya ke kultur yang masih dipegang erat. Bahkan di tengah-tengah persiapan olimpiade, kekuatan kulturnya masih diperkuat dengan setiap kota menggelar promosi dengan caranya masing-masing.
Ada tujuan lain selain Tokyo dalam kunjungan ini?
Mungkin saya akan berkunjung ke Mitaka, tapi bukan ke museum Ghibli karena saya sudah dua kali ke sana. Saya lebih tertarik untuk mengamati daerah pinggirannya.
Apa yang membuat daerah pinggiran Jepang menarik di mata seorang Riri Riza?
Orang Jepang punya budaya yang sangat tinggi. Kalau mau melihat budaya harus melihatnya secara riil. Bagaimana mereka menata kehidupannya, pola-pola hidup yang sehat dan bersih di masyarakat. Ada order yang sangat baik. Banyak hal yang bisa dipelajari. Di daerah pinggiran inilah kita bisa melihatnya dengan jelas. Saya selaku pembuat film merasa itu adalah kesempatan melakukan riset tentang kehidupan.
Menurut Riri Riza apa perbedaan mendasar film Jepang dengan film dari negara lainnya?
Sebenarnya kalau berbicara tentang film Jepang cukup luas dan tidak dapat disebutkan semua. Ada sekitar 70 - 80 film yang diproduksi setiap tahun. Mulai dari film rendah dengan jalur distribusi independent sampai ber-budget besar untuk pasar yang besar. Kalau berbicara tentang karakter film Jepang saya ingin menyebut nama-nama yang mencerminkan Jepang melalui filmnya.
Ada di Jepang pembuat film yang hidup di tahun 50-an bernama Yasujiro Ozu. Ini adalah salah seorang pelopor bukan hanya perfilman Jepang namun juga seni film di dunia. Dia memperkenalkan keluarga Jepang atau etos, pola hubungan keluarga di Jepang. Hubungan ayah dengan anak, hubungan istri dengan suami, hubungan antara keluarga yang tinggal di desa dan di kota. Itu sangat menginsipirasi menurut saya. Dia selalu membuat karya yang kuat, bahkan banyak yang menemukan terminologi tatami shot di film Ozu di mana kamera diletakkan dalam posisi di lantai.
Kemudian ada sutradara seperti Hirokazu Koreeda dengan karya yang berbicara tentang tantangan masyarakat Jepang. Sebagian besar orang Jepang sudah tua. Lebih banyak generasi tua dibanding mudanya. Film-film kontemporernya menceritakan gambaran masyarakat Jepang hidup di masa itu. Ini baru dua yang saya anggap menarik. Belum lagi banyak yang bercerita tentang isu-isu lingkungan seperti orang yang hidup dengan kondisi taifun dan gempa di Jepang. Inilah ciri khas film di Jepang.
Bisa lebih diperjelas ciri khas tersebut?
Film Jepang sudah mencapai tahap ekspresi dari sang pembuat. Setiap kita melihat atau menonton film Jepang kita bisa melihat kegelisahan apa yang dialami dalam sutradaranya. Sehingga film menjadi ungkapan personal atau ekspresi. Di banyak negara, termasuk Indonesia, film masih merupakan tuntutan atau hiburan pasar. Ini yang saya anggap menarik.
Bagaimana dengan film animasi Jepang? Adakah yang disukai?
Banyak. Saya juga penggemar Hayao Miyazaki. Tapi terakhir saya menonton film kolaborasi Studio Ghibli dengan pembuat film belanda judulnya Red Turtle. Itu sangat menarik. Berbicara tentang lingkungan, cinta, dan teknik animasi. Sebenarnya itu film nafasnya orang Eropa namun dibuat dengan kepekaan Studio Ghibli.
Selain itu apa yang Riri suka dari Jepang?
Saya suka makanan Jepang, selain itu kultur kopinya juga kuat. Dibuat dengan sangat baik dan menyenangkan. Tidak boleh terlewat saat berkunjung ke Jepang.
(foto: Resky Ramadhan)