Berita Jepang | Japanesestation.com

Costume play alias cosplay menjadi salah satu budaya populer Jepang yang terus berkembang setiap tahunnya. Dulunya, cosplay hanya dilakukan sebagai hobi oleh penggemar anime, manga, hingga video game. Tidak hanya eksis di acara bertema anime saja, cosplayer (sebutan untuk orang yang melakukan cosplay) juga ditemukan di Tokyo Game Show, salah satu pameran video game terbesar di Jepang.

Berbagai cosplayer dari penjuru dunia berkumpul di pagelaran World Cosplay Summit.
Berbagai cosplayer dari penjuru dunia berkumpul di pagelaran World Cosplay Summit (AnimeMaps),

Meningkatnya jumlah cosplayer dalam beberapa tahun terakhir membuat pemerintah hingga pusat perbelanjaan semakin banyak menyelenggarakan acara cosplay seperti World Cosplay Summit untuk menarik wisatawan dan anak muda. Hacosta Inc, salah satu event organizer di Osaka mengungkapkan telah berhasil menarik 200.000 pengunjung dalam acara cosplay.

Membuka peluang bisnis baru

Popularitas cosplay juga berhasil membuka peluang bisnis baru, salah satunya adalah layanan pembuatan kostum untuk cosplayer. Layanan yang satu ini jelas semakin mempermudah semua orang untuk mencoba cosplay.

Aktivitas seru yang bisa kamu lakukan untuk merayakan halloween di Jepang
Dua orang gadis yang bercosplay pada perayaan Halloween di Shibuya (Ken Garcia)

Narikiri, salah satu layanan pembuatan kostum cosplay yang tersedia secara daring hingga memungkinkan semua orang mengaksesnya di mana saja. Layanan yang dioperasikan oleh Otacrowd Co., ini memungkinkan pengguna untuk mendapatkan kostum dan alat peraga yang dibuat dengan keterampilan. Tarif pesanannya cukup beragam, sekitar 60.000 hingga 70.000 yen, bahkan mencapai satu juta yen.

Awal mula popularitas cosplay

Cosplay dulunya tidak sepopuler sekarang dan dipandang cukup aneh oleh orang dewasa karena menggunakan kostum yang tidak biasa. Bahkan setelah kehadiran Comic Market di tahun 1970-an, cosplay membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mendapatkan tempatnya di masyarakat.

Maraknya penggunaan sosial media di tahun 2010 mulai meningkatkan popularitas cosplay. Gagasan untuk terlihat ‘bagus’ di sosial media dengan mengunggah foto yang telah diedit juga menjadi hal yang normal. Menurut Profesor Takeshi Okamoto dari Universitas Kindai, hal ini mungkin terjadi karena pengguna sosial media merasa kurang nyaman jika menunjukkan sebagian atau keseluruhan aspek hidupnya.

Keseruan Ikebukuro Halloween Cosplay Festival tahun lalu (Ikebukuro Halloween Cosplay Official Site)
Keseruan Ikebukuro Halloween Cosplay Festival tahun lalu (Ikebukuro Halloween Cosplay Official Site)

Jauh sebelum era modern, ada gerakan populer yang disebut Eejanaika di era Edo (1603 - 1867) di mana kaum muda menari dalam balutan kostum aneh. Menurut Munesuke Mita, salah satu sosiolog yang menulis tentang Eejanaika dalam bukunya, ada kesamaan antara Eejanaikan dan cosplay era modern. Keduanya mewakili keinginan untuk melarikan diri dari keseharian.

Berada dalam ranah abu-abu

Menjadi hobi yang dicintai oleh banyak orang, beberapa kegiatan cosplay berpotensi melibatkan pelanggaran hak cipta. Salah satu karyawan perusahaan yang terlibat bisnis cosplay mengungkapkan bahwa saat ini perusahaan pemilik hak cipta telah “memberikan izin” kepada cosplayer.

Para cosplayer yang hadir dalam Ikebukuro Halloween Cosplay Festival 2023
Para cosplayer yang hadir dalam Ikebukuro Halloween Cosplay Festival 2023 (Dick Thomas Johnson/Wikimedia Commons)

Hal serupa juga terjadi pada kegiatan yang melibatkan produksi fiksi fan. Pihak yang terlibat dalam kegiatan ini harus mengikuti aturan perusahaan dan berhati-hati agar tidak melakukan pelanggaran hak cipta. Meski begitu, konsumsi merchandise terkait cosplay diprediksi akan melampaui angka satu triliun di tahun 2030.