Secara mengejutkan, Tokyo, kota yang menarik jutaan wisatawan dengan atraksi-atraksinya yang memukau dan kekayaan budayanya, masuk ke dalam daftar destinasi yang harus dihindari oleh wisatawan pada tahun 2025.
Bergabung dengan destinasi populer di dunia lainnya seperti Bali, masuknya Tokyo ke dalam daftar tahun 2025 ini menyoroti perlunya praktik pariwisata berkelanjutan untuk melestarikan pesona dan kualitas hidup di daerah-daerah yang dicintai ini.
Setiap tahun, Fodor's Travel meluncurkan No List, sebuah daftar yang menyoroti destinasi yang mungkin perlu dipikirkan ulang untuk dikunjungi oleh para pelancong karena pariwisata yang berlebihan (overtourism), masalah lingkungan, atau pelestarian budaya.
Daftar destinasi yang harus dihindari dibagi menjadi dua kategori. Yang pertama adalah 'destinasi yang tidak boleh dikunjungi'; tempat-tempat yang populer, dan tampaknya mengalami dampak overtourism, tetapi hanya sedikit kemajuan yang telah dibuat untuk mengurangi masalah tersebut.
Bali masuk dalam daftar ini. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, Pulau Dewata ini menyambut 5,3 juta pengunjung internasional pada tahun 2023, angka yang meningkat 22 persen pada akhir Juli 2024.
Meskipun arus wisatawan ini telah meningkatkan perekonomian, namun mereka juga memberikan tekanan yang luar biasa pada infrastruktur Bali. Pantai-pantai yang dulunya masih alami seperti Kuta dan Seminyak kini terkubur di bawah tumpukan sampah, dan sistem pengelolaan sampah setempat mengalami kesulitan untuk menanganinya.
Kategori kedua adalah 'destinasi yang mulai menderita'. Kategori ini mencakup semua destinasi yang perlu dipertimbangkan kembali karena perlahan mulai terancam dengan kondisi pariwisata yagn mengerikan.
Media Jepang telah menciptakan frasa Kankō kōgai, atau “polusi pariwisata,” untuk mengekspresikan kegelisahan yang semakin meningkat atas masuknya turis asing, atau “gaijin,” ke Jepang. Fenomena ini meningkatkan rasa urgensi dan kejengkelan dengan kepadatan yang berlebihan, biaya yang meningkat, kurangnya layanan, dan pengabaian terhadap adat istiadat setempat.
Menurut Organisasi Pariwisata Nasional Jepang, sebanyak 30.192.600 turis asing mengunjungi negara ini dalam periode Januari-Oktober 2024. Jumlah ini melampaui angka 30 juta untuk pertama kalinya sejak 2019, sejak sebelum dimulainya pandemi virus corona pada awal 2020.
Akibat lonjakan turis asing, bisnis dan pemerintah daerah bermain-main dengan menaikkan harga untuk membuat pariwisata menjadi lebih tidak terjangkau. Seperti yang dilakukan oleh Walikota Himeji baru-baru ini misalnya. Ia mengusulkan agar turis asing membayar empat kali lipat lebih mahal daripada orang Jepang untuk masuk ke kastil yang terkenal di kota itu.
Batas jumlah pengunjung dan biaya masuk juga diberlakukan di lokasi-lokasi yang ramai seperti jalur pendakian Gunung Fuji. Setelah tarif diberlakukan, jumlah pendaki yang mendaki pada hari puncak di jalur tersibuk di Gunung Fuji turun 17% pada tahun berikutnya, yang menyoroti beberapa keberhasilan dari tindakan overtourism ini.
Fodor's menyuarakan keprihatinannya tentang tekanan pada infrastruktur dan penduduknya, dan mendesak para pelancong untuk mempertimbangkan cara-cara yang lebih ramah lingkungan untuk menjelajah atau destinasi alternatif.