Tak hanya di Indonesia, permusuhan antara mertua dan menantu juga menjadi masalah bagi banyak keluarga di Jepang. Bahkan, di Jepang ada proses resmi untuk memutus hubungan dengan keluarga pasangan yang telah meninggal.
Proses ini umumnya dikenal sebagai “perceraian anumerta” (shigo rikon). Secara resmi, istilah ini mengacu pada pemutusan hubungan resmi dengan keluarga pasangan ketika pasangannya telah meninggal. Meskipun sebenarnya, hal ini tidak memiliki tujuan apa pun-selain sebagai pernyataan resmi yang disahkan oleh pemerintah untuk menunjukkan bahwa seseorang merasa mertuanya tidak dapat ditoleransi.
Pada dasarnya istilah perceraian anumerta menipu bagi sebagian orang, karena pasangan yang telah meninggal tidak benar-benar bercerai. Jepang memiliki mentalitas “sampai maut memisahkan” yang sama dengan kebanyakan negara lain. Sehingga secara hukum tidak mungkin untuk menceraikan orang yang sudah meninggal.
Sudah sejak lama ada harapan yang diberikan kepada anak-anak di Jepang, terutama anak sulung laki-laki, bahwa ketika dewasa mereka akan merawat orang tua mereka. Selain itu, anak sulung seharusnya mewarisi rumah keluarga, pemakaman, dan harta warisan lainnya.
Jika anak sulung meninggal dunia, aset-aset ini biasanya berpindah ke anggota garis keturunan keluarga mereka, bukan ke pasangan anak sulung; oleh karena itu, mendapatkan perceraian anumerta tidak banyak berpengaruh pada keadaan tersebut.
Namun ada beberapa kasus di mana anak sulung dapat secara tegas mewariskan warisan ini kepada pasangannya dalam surat wasiat mereka. Dalam kasus seperti itu, pihak yang meminta perceraian anumerta harus terlebih dahulu menunjuk seorang pengganti dalam keluarga almarhum pasangannya.
Bahkan jika pasangan tersebut tinggal bersama mertua pada saat kematian, mereka tidak lagi memiliki kewajiban hukum untuk merawat orang tua.
Perceraian anumerta juga tidak berpengaruh pada hubungan hukum orang tersebut dengan almarhum pasangannya. Mereka masih dapat memilih untuk mempertahankan nama belakang pasangannya dan masih memenuhi syarat untuk semua warisan, pensiun, dan polis asuransi seperti sebelum perceraian anumerta. Mereka bahkan masih dapat memiliki jenazah mereka sendiri yang ditempatkan di makam keluarga pasangan mereka karena hubungan hukum mereka dengan almarhum pasangan masih sepenuhnya utuh.
Jumlah perceraian anumerta rata-rata pertahun menurut Kementerian Kehakiman adalah sekitar 4.000 kasus, dibandingkan dengan pada akhir tahun 90-an, yakni kurang dari 2.000 kasus. Banyak dari kasus-kasus ini menggunakan perceraian sebagai alat ketika pasangan terseret ke dalam sengketa warisan atau masalah lain atas perintah wasiat almarhum.
Namun, semakin banyak orang baru-baru ini menemukan diri mereka dalam situasi yang sama seperti seorang wanita Tokyo berusia 53 tahun yang menyebut pemutusan hubungan resminya dengan mertuanya sebagai “perasaan bebas yang luar biasa.”
Dia menggambarkan kehidupan pernikahannya yang selalu merasa terganggu oleh hal-hal kecil yang dilakukan oleh ibu mertuanya, tetapi didorong oleh rasa kewajiban tradisional untuk menerima mereka demi suaminya. Namun, setelah suaminya meninggal, perilaku ibu mertuanya terus berlanjut hingga ia tidak tahan lagi dan mengajukan “cerai” darinya.
Sumber: Sozoku Asahi, Sankei Shimbun via Sora News 24