Berita Jepang | Japanesestation.com

Oarai, sebuah kota pesisir kecil di Prefektur Ibaraki dengan populasi sekitar 15.000 jiwa, telah menjadi rumah bagi imigran asal Indonesia yang cukup besar. Dengan pertanian, perikanan, dan pengolahan makanan laut sebagai industri utamanya, kota ini sangat bergantung pada pekerja asing, terutama Warga Negara Indonesia (WNI), yang kini mencapai hampir separuh dari populasi penduduk asing setempat.

Meskipun banyak mereka telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ekonomi lokal, kota ini juga bergulat dengan masalah yang tak kunjung usai, penduduk asing yang tinggal melebihi batas waktu tinggal (Overstay).

Sebuah laporan dari Gendai Bussiness melaporkan bahwa pada bulan Juli tahun lalu, sebuah operasi polisi besar-besaran berhasil menangkap 29 WNI overstay yang tinggal di sebuah kompleks apartemen.

Peningkatan komunitas Indonesia dapat ditelusuri kembali ke beberapa dekade yang lalu ketika nelayan Jepang dari Oarai berkelana ke perairan Indonesia untuk menangkap tuna dan bonito.

Sekitar 35 tahun yang lalu, salah satu nelayan tersebut menikahi seorang wanita lokal dan membawanya ke Jepang. Hal ini memicu migrasi berantai karena dia mendorong kerabat dan teman-temannya untuk mengikuti, menyoroti banyaknya peluang kerja di kota ini.

Pada saat itu, hukum imigrasi Jepang lebih lunak, dan penegakan hukum terhadap orang yang tinggal melebihi batas waktu tinggal sangat minim. Para pekerja muda Jepang menghindari industri yang dicap sebagai industri 3K (kitanai - kotor, kitsui - keras, kiken - berbahaya), sehingga menciptakan kekosongan tenaga kerja yang dengan mudah diisi oleh orang Indonesia.

Seiring dengan menyebarnya berita, jumlah WNI yang overstay di Jepang melonjak menjadi hampir 2.000 orang dalam dekade pertama kedatangan mereka.

Bagi banyak orang, stabilitas keuangan adalah motivasi utama mereka menetap di Jepang. Grandy, seorang pekerja magang di tahun keempatnya di Jepang, mendapatkan sekitar 120.000 yen per bulan, setengahnya ia kirimkan ke keluarganya.

“Di Indonesia, kami susah mendapatkan pekerjaan. Kami sangat menghargai keluarga, jadi semua orang mengirim uang ke rumah. Saya mencoba untuk menabung sebanyak mungkin dan memanjakan diri saya sesekali dengan makan di luar,”

Demikian pula dengan Fernita, seorang pekerja dengan visa Pekerja Berketerampilan Spesifik Jepang, yang meninggalkan karirnya sebagai arsitek di Indonesia dengan penghasilan hanya 30.000 yen per bulan. Di Jepang, penghasilannya empat kali lipat lebih tinggi.

“Saya mengirim setengah dari gaji saya ke keluarga saya dan menggunakan sisanya untuk biaya hidup dan sesekali jalan-jalan ke Mito. Selama saya bisa menghasilkan lebih banyak uang di sini, saya ingin tetap tinggal di Jepang,” katanya.