
Sejak awal tahun 2000-an. Gaya Lolita yang merupakan subkultur Jepang mulai santer di belahan dunia lainnya. Sekarang ini kaum hawa berbagai usia di negara-negara Barat maupun Timur ikut-ikutan bergaya imut dengan gaun-gaun manis dan anggun.
Mungkin di antara Anda banyak yang belum paham bahwa tidak selamanya seorang perempuan berpakaian dan berdandan untuk menarik perhatian lawan jenis. Banyak wanita menganggap fashion merupakan ekspresi diri. Make-up dianggap merupakan padu-padan warna menggunakan wajah sebagai kanvas, dan padu padan pakaian merupakan cara mereka menunjukkan seperti apa diri mereka.
Sayangnya, dalam budaya patriarki, sering sekali apa yang dikenakan oleh wanita dikaitkan dengan syahwat. Inilah salah satu masalah yang dihadapi oleh komunitas pencinta pakaian lolita. Siluet kekanak-kanakkannya membuat beberapa kaum lelaki mengecam mereka sebagai "menjual diri" dengan bergaya ala anak kecil. Namun di saat yang bersamaan "lolita" menjadi genre porno berunsur pedofilia. Di mana mereka meleset jauh. Gaya lolita merupakan gaya yang bertujuan memberikan efek elegan namun playful kepada pemakainya. Bukan siasat menggoda pria. Mungkin kesamaan nama dengan novel karya Vladimir Nabokov yang berkisah tentang pedofilia menjadi salah satu faktor kesalahpahaman. Tapi pada akhirnya, sepertinya kaum pria harus berhenti berpikir bahwa segala sesuatu yang dikenakan kaum wanita berfungsi menarik perhatian laki-laki dan ada hubungannya dengan seks.